1.
Konsep Ketertiban Umum
(Public Order).
Pemikiran tentang ketertiban umum (public
order) dalam HPI pada dasarnya bertitik tolak dari anggapan dasar bahwa
“sebuah pengadilan adalah bagian dari struktur kenegaraan yang berdaulat” dan
karena itu pengadilan berwenang untuk memberlakukan hukumnya sendiri dalam
perkara-perkara yang diajukan
kepadanya. Masalahnya, apakah dalam perkara-perkara yang mengandung unsur
asing, sejalan dengan kaidah di dalam sistem HPI-nya, pengadilan ini harus
selalu memberlakukan hukum asing yang seharusnya menjadi lex causae di
dalam wilayah yurisdiksinya? Jawabannya adalah tidak selalu harus
demikian, akan berhadapan dengan hal-hal yang dapat menjadi dasar untuk
mengesampingkan pemberlakuan hukum asing di wilayah lex fori.
Salah satu alasan untuk itu adalah ketertiban umum. Prinsip yang
digunakan untuk menetapkan hal itu adalah yang masih menjadi persoalan dalam
penegakan prinsip di atas adalah sejauh mana orang dapat menggunakan dasar
“demi ketertiban umum” itu untuk mengesampingkan kaidah-kaidah hukum asing yang
seharusnya berlaku, atau apa ukuran-ukuran yang dapat digunakan sebagai
landasan pemberlakuan asas ketertiban umum ini.
Mengenai apa yang merupakan “ketertiban
umum” sangat sukar dikemukakan suatu perumusan;
Eropa
Kontinental, konsep ketertiban umum dikembangkan berdasarkan prinsip
bahwa:“Semua kaidah hukum setempat yang dibuat untuk melindungi kesejahteraan
umum (public welfare) harus didahulukan dari ketentuan-ketentuan hukum asing
yang isinya dianggap bertentangan dengan kaidah hukum tersebut.
Kollewijn, yang menjadikan soal
ketertiban umum ini pokok dissertasinya, berpendapat bahwa kita dapat secara a
priori menentukan apakah yang termasuk ketertiban umum itu. Ahli-ahli dan teori
tidak dapat menemukan kriteriumnya; hanya sang hakim saja yang dalam kasus dan
perkara yang tertentu dapat menentukan apa yang bertentangan dengan kepentingan
umum atau ketertiban hukum.
Hal disebabkan karena faktor-faktor
waktu dan tempat, filsafah kenegaraan yang dianut oleh masyarakat
hukum yang bersangkutan, system perekonomian dan pola kebudayaan
dan politiknya, semuanya mempengaruhi pendapat mengenai
ketertiban umum.
Di Inggris dan Amerika (Negara-negara
common law) overgeneralization ini tidak begitu mudah terjadi, oleh karena
dalam sistim- sistim hukum ini hakim dan yurisprudensi memegang peranan yang
lebih penting daripada (kitab) undang-undang. Yang menyebabkan soal-soal yang
dianggap sebagai “public policy” dijadikan “matters of procedure”, sehingga
diatur oleh lex fori.
Memang metode yang dipergunakan oleh
pelaksana dan pembentuk hukum dalam sistim Common Law sejak semula merupakan
metode yang induktif dan pragmatis. Karena segala kasus-kasus dan
soal yang berhubungan dengan peristiwa hukum yang bersangkutan selalu
diperhatikan secara konkrit dan khusus.Secara tradisional, doktrin-doktrin HPI
membedakan dua fungsi lembaga Ketertiban Umum, yaitu:
a.
Fungsi posotif
Yaitu
menjamin agar aturan-aturan tertentu dari lex fori tetap diberlakukan
(tidak dikesampingkan) sebagai akibat dari pemberlakuan hukum asing yang
ditunjuk oleh kaidah HPI atau melalui proses pendekatan HPI, terlepas dari
persoalan hukum mana yang seharusnya berlaku, atau apa pun isi kaidah/aturan
lex fori yang bersangkutan.
b.
Fungsi negatif
Yaitu
untuk menghindarkan pemberlakuan kaidah-kaidah hukum asing jika pemberlakuan
itu akan menyebabkan pelanggaran terhadap konsep-konsep dasar lex fori.
2.
Hubungan Antara
Ketertiban Umum Dan Hak-Hak Yang Telah Diperoleh
Persoalan “hak-hak yang telah diperoleh” mempunyai hubungan erat
dengan masalah ketertiban umum. Menurut pandangan berbagai sarjana hukum,
tujuan daripada “hak-hak yang diperoleh” ini justru adalah sebaliknya
daripada tujuan ketertiban umum dalam HPI. Telah kita saksikan bahwa ketertiban
umum internasional merupakan dasar kuat untuk melakukan hukum perdata nasional
sang hakim, padahal menurut kaidah-kaidah HPI sang hakim sendiri, kaidah-kaidah
hukum perdata asing yang harus dipergunakan
a. Asas ketertiban umum.
Hukum asing yang seharusnya berlaku tidak diberlakukan. Hukum yang
asing dikesampingkan, demi kedilan rakyat lex fori. Penggunaan yang terlalu
sering akan menyebabkan pergaulan internasional menjadi terhambat (karena
pengagung-agungan hukum sendiri). Asas ketertiban umum menyangkut banyak hal;
tidak hanya menyangkut soal milik dan status. Asas ketertiban umum bertitik
tolak pada faham, bahwa kepentingan nasional harus didahulukan, berdasarkan
kedaulatan Negara. Diadakan demi kepastian hukum dalam masyarakat sendiri.
Ketertiban umum sama sekali menyampingkan kwalifikasi. Orang lebih condong
perlakukan asas ketertiban umum, jika soalnya menyangkut kepentingan sendiri.
Ketertiban umum sering merupakan penyampingan dari hak-hak yang diperoleh.
b. Azas Hak-Hak Yang Diperoleh
Hukum sendiri yang seharusnya berlaku dikesampingkan karena adanya
hak-hak yang diperoleh, berdasarkan sistem hukum asing. Hukum sendiri
dikesampingkan, demi rasa keadilan pada pihak yang bersangkutan. Penggunaan
secara resiproritas akan melancarkan pergaulan internasional tetapi penggunaan
tanpa batas akan melemahkan kekuatan hukum nasional. Asas hak-hak yang
diperoleh menyangkut soal milik dan status, yang me nyebabkan serangkaian hak,
seperti kewarga negaraan, perkawinan, kedudukan sebagai anak yang sah, dan
sebagainya. Mengakui, bahwa kita tidak dapat menutup mata terhadap kepentingan
dunia internasional (orang asing); tidak hanya demi keadilan, tetapi juga
kepentingan nasional kita sendiri (supaya tidak di pencilkan oleh dunia
internasional).
Di akui demi kepastian hukum, baik bagi
pihak yang bersangkutan, maupun bagi masyarakat dunia internasional. Hak-hak
yang diperoleh justru memperhatikan perbedaan kualifikasi dalam sistem hukum
yang berbeda. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai soal kwalifikasi dan
interprestasi belaka (Ehrenzweig). Orang lebih condong mempertahankannya,
apabila soalnya menyangkut kepentingan sendiri. Hak-hak yang diperoleh dapat di
terobos oleh azas ketertiban umum
3.
Penutup
Dalam pasal 23 A.B. “ketertiban umum”
dipakai sebagai “batas seseorang boleh mengadakan pilihan hukum”. Sebab pasal
itu mengatakan “Door geene handelingen of overeenkomstern kan aan de wetten,
die op de publieke orde of de goede zeden betrekking hebben, hare kracht
ontonomen worden”. Seringkali pula “ketertiban umum” dipakai dalam arti
“ketertiban dan kesejahteraan “atau” keamanan”. Kadang-kadang “ketertiban umum”
juga dipakai dalam arti “ketertiban umum”. Jika perkara yang bersangkutan
menyangkut pengertian “keadilan”, maka lex feri juga akan mempergunakan
konsepsinya sendiri mengenai “keadilan” itu dsn bukan konsepsi yang berdasarkan
suatu hukum asing yang bersangkutan. Inipun merupakan suatu akibat dari
“ketertiban umum” pula. “Ketertban umum” yang menyangkut Hukum Pidana berarti,
bahwa Hukum Pidana asing tidak pernah dianggap berlaku oleh lex fori. Demikian
pula Hukum Pajak asing tak dianggap berlaku
Dari apa yang telah dikemukakan tentang hubungan antar ketertiban
umum dan hak-hak yang telah diperoleh: Azas hak-hak yang diperoleh dan azas
ketertiban umum merupakan dua segi dari soal yang sama; yaitu penggunaan hukum
asing. Demi kelancaran pergaulan internasional, hukum asing diakui sejauh
mungkin, asal saja tidak melanggar kepentingan hukum nasional. Antara azas
hak-hak yang diperoleh dan azas ketertiban umum terjadi pengaruh timbal-balik
(Wisselwerking). Ketertiban umum merupakan pengecualian dari kaedah
hukum asing yang seharusnya berlaku berdasarkan kaedah Hukum Perdata
Internasional. Dengan demikian azas “ketertiban umum” merupakan pengecualian
pula dari azas pilihan hukum (choice of law, khususnya choice of rule).
Hak-hak yang diperoleh sebenarnya
merupakan pengakuan terhadap berlakunya suatu kaedah hukum asing (choice of
law), karena terjadinya suatu peristiwa hukum (peristiwa yang mempunyai akibat
hukum) atau hubungan hukum (rechtsverhouding) yang perlu diakui oleh lex fori
untuk dapat menyelesaikan kasus (perkara) yang bersangkutan secara
seadil-adilnya; dan agar kepastian hukum dalam masyarakat internasional jangan
sampai menjadi kacau. Dengan lain perkataan, hak-hak yang diperoleh di luar
negeri itu (atau berlakunya kaedah hukum asing itu), perlu diakui oleh lex
fori, supaya terbentuk suatu pergaulan yang lancar antara anggota masyarakat
sedunia. Dengan makin “kecilnya” dunia ini, dan semakin terasanya
interdependensi antar manusia sedunia sebagai akibat bertambah majunya teknik
dan teknologi (alat-alat komunikasi), maka kebutuhan akan pengakuan hak-hak
yang diperoleh di luar negeri menjadi bertambah urgent pula. Suatu dan lain
dengan syarat bahwa azas ini hanya berlaku selama tidak melanggar “ketertiban
umum”, jadi tidak melanggar kepentingan masyarakat lex fori
Berarti bahwa
faham Perancis mengenai ketertiban umum dan hak-hak yang diperoleh sudah patut
kita tinggalkan. Dari kedua azas tersebut dapat kita lihat interdependensi
antara kepentingan berbagai masyarakat/nasional dan kaedah-kaedah hukum
masyarakat yang bersangkutan. Interdependensi ini membawa keharusan akan
pengakuan azas timbal-balik (reciprocity). Hukum (i.c the law of reciprocity)
yang diperlukan untuk melindungi atau menciptakan suatu kepentingan masyarakat,
atau lebih. Inilah yang merupakan pendekatan fungsionil daripada hukum. Bahwa
pendekatan fungsionil ini tidak dapat dicapai secara deduktif dan teoritis a
priori,melainkan dari hasil penyelidikan yang induktif, kiranya sudah jelas.
DAFATAR PUSTAKA
Hardjowahono, Bayu. 2006. Dasar-Dasar Hukum Perdata
Internasional Buku Kesatu, Edisi ke-4, Bandung: Citra Aditya.
Hartono, Sunaryati, 1995. Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional,
Cetakan ke-4, Bandung: Anggota IKAPI, Penerbit Binacipta.
A.Hamzah,
2007. KUHP&KUHAP. Edisi Revisi 2008, Cet. k-15, Jakarta: Rineka Cipta
www.blogspot.com/hukum-perdata-internasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar