BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 dalam Pasal 1 ayat (3) secara jelas menegaskan bahwa
negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (Rechstaat),
sehingga Negara Indonesia bukanlah negara yang berdasarkan pada kekuasaan
belaka (machstaat). Konsekuensi yang timbul kemudian adalah Negara
Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin persamaan setiap warga
negara dihadapan hukum dan pemerintahan.
Hukum pada hakikatnya sesuatu yang
abstrak, meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud konkrit. Oleh karena itu,
pertanyaan mengenai apakah hukum itu senantiasa merupakan pertanyaan yang
jawabannya beraneka ragam tergantung dari sudut mana mereka memandangnya.
Hukum menetapkan apa yang harus
dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Sasaran hukum bukan hanya sekedar
memidana orang yang telah melakukan perbuatan melawan hukum, melainkan juga
mencegah perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi. Hukum senantiasa
berusaha untuk menjamin dan melindungi hak-hak individu dan masyarakat serta
menjaga kepentingan negara dari penyimpangan dan penyangkalan.
Salah satu kajian hukum yang paling
penting adalah kajian hukum pidana. Hukum pidana dapat dirumuskan sebagai
sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan
yang terhadappelanggarnya diancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi mereka yang
mewujudkannya. Hukum pidana terbagi atas 2 (dua) yaitu hukum pidana materil
yaitu mengenai petunjuk dan uraian tentang tindak pidana, dan hukum pidana
formil yaitu cara negara dengan perantara para pejabatnya dalam menegakkan
hukum materil. Perbuatan yang melanggar aturan-aturan inilah yang disebut
dengan tindak pidana.
Salah satu tindak pidana yang
fenomenal yang marak terjadi yaitu kasus tindak pidana korupsi. Tindak pidana
korupsi di Indonesia sudah semakin meluas dikalangan masyarakat Indonesia.
Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun dan telah menjadi gaya
hidup orang banyak saat ini, terbukti dengan semakin merambahnya budaya korupsi
mulai dari pusat sampai ke tingkat daerah.
Berdasarkan survey yang dilakukan
oleh transparency.org tahun 2012, sebuah lembaga independen dari 146
(seratus empat puluh enam) negara mencatat bahwa ada sepuluh negara terkorup di
dunia, yaitu: 1.Azerbaijan,2.Bangladesh, 3.Bolivia, 4.Kamerun, 5.Indonesia,
6.Irak, 7. Kenya, 8.Nigeria, 9.Pakistan, 10.Rusia.
Data tersebut menunjukkan bahwa
negara Indonesia adalah negara terkorup kelima di dunia, dan menduduki
peringkat pertama negara terkorup di tingkat Asia-Pasifik. Selanjutnya 5 (lima)
negara terkorup se-Asia Pasifik menurut survey transparency.org :
1.Indonesia, 2.Kamboja, 3.Vietnam, 4.Filipina, 5.India. Suatu survey yang
menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia sangat membahayakan
kehidupan perekonomian nasional sehingga dianggap sebagai suatu kejahatan yang
luar biasa. Praktek korupsi yang semakin meningkat dengan pola yang lebih
sistematis dan canggih merupakan suatu masalah serius bagi upaya penegakan
hukum di Indonesia
Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi
di tengah-tengah krisis multidimensional serta ancaman nyata yang pasti akan
terjadi yaitu dampak dari kejahatan ini, maka tindak pidana korupsi dapat
dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara
sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas
dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya aparat
penegak hukum.
Meningkatnya kasus tindak pidana
korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja bagi kehidupan
perekonomian nasional, tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kegagalan elit politik Indonesia melakukan upaya serius memberantas korupsi
jelas akan membahayakan demokrasi. Rakyat akan menyalahkan demokrasi atas
kesulitan yang dihadapinya, padahal kesulitan itu disebabkan oleh korupsi.
Berbagai
peraturan-peraturan yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi
serta pembentukan lembaga-lembaga untuk pemberantasan korupsi dalam
kenyataannya belum mampu memberantas tindak pidana korupsi. Hal ini menunjukkan
tidak berfungsinya dimensi politik kriminal dari perangkat hukum pidana yang
ada, khususnya yang mengatur Korupsi
Permasalahan
korupsi sesungguhnya bersifat universal, karena tidak ada satu negarapun yang
"immune" menghadapi korupsi. Hanya saja, bagi negara-negara
berkembang perjuangan untuk memberantas korupsi dirasakan sebagai usaha yang
sangat sulit, berhubung system kemasyarakatan maupun sistem politik
pemerintahan yang belum mendukung.
Di
Indonesia, masalah korupsi seperti yang tidak pernah berakhir melanda kehidupan
masyarakat Indonesia. Dari awal Negara Republik Indonesia berdiri hingga saat
ini, pemerintah dan masyarakat senantiasa disibukkan dalam urusan pemberantasan
kejahatan korupsi. Perhatikan saja, cukup banyak peraturan perundang-undangan
pemberantasan korupsi yang dibuat dan diganti dalam kurun waktu keberadaan
negara ini. Berturut-turut peraturan perundang-undangan silih berganti, mulai
dari KUHP, Peraturan Penguasa Militer Nomor : Prt/PM/06/1957 tertanggal 9 April
1957, Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor : PRTIPEPERPU/013/1958 tanggal 16
April 1958, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor : 24 Tahun 1960
(yang disahkan menjadi undang-undang berdasarkan UndangUndang Nomor I Tahun
1961), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 200 I sampai dengan terakhir Undang-Undang Nomor
30 Tahun2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jika diamati
setiap konsiderans maupun penjelasan umum perundangundangan, maka akan temyata
bahwa setiap pergantian atau perubahan perundang-undangan senantiasa didasarkan
pada "pertimbanganpertimbangan
" bahwa korupsi telah banyak merugikan keuangan dan
perekonomian negara, perundang-undangan
yang ada tidak lagi efektif memberantas
tindak pidana korupsi yang semakin meningkat dan kompleks.
Berbagai
peraturan-peraturan yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi
serta pembentukan lembaga-lembaga untuk pemberantasan korupsi dalam
kenyataannya belum mampu memberantas tindak pidana korupsi. Hal ini menunjukkan
tidak berfungsinya dimensi politik kriminal dari perangkat hukum pidana yang
ada, khususnya yang mengatur Korupsi
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah peran Polri dalam
penegakan hukum tindak pidana Korupsi ?
2.
Bagaimanakah kewenangan Polri dalam
penegakan hukum tindak pidana Korupsi?
3.
Bagaimanakah peran Jaksa dalam
penegakan hukum tindak pidana Korupsi ?
4.
Bagaimanakah kewenangan Jaksa dalam
penegakan hukum tindak pidana Korupsi ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Peran Polri
dalam penegakan hukum tindak pidana Korupsi
Peran Polri dalam penegakan hukum
Tindak Pidana korupsi?, dalam Undang-undang No 2 tahun 2002 tentang kepolisian
Negara Republik Indonesia pada pasal 14 huruf g menyebutkan “Kepolisian
Negara Republik Indonesia melakukan Penyelidikan dan Penyidikan terhadap semua
tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya”. Dan sesuai dengan bunyi pasal 25 UU no 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa “Penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus
didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya”, Hal ini
selaras dengan semangat reformasi Polri yang membuat grand strategi Polri
dengan Kebijakan Strategis Pimpinan Polri di dalamnya,
Bahwa pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah merupakan prioritas
bagi Polri. Peran Polri disini menjadi sangat penting, karena Polri menjadi ujung
tombak dalam penegakan hokum, meskipun dalam perkembangannya selain Polisi dan
Jaksa, Negara membentuk lembaga lain yang khusus menangani tindak pidana
Korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hal ini disebabkan karena
Tindak Pidana Korupsi adalah Kejahatan yang merupakan ekstra ordinary crime dan
mempunyai implikasi sangat besar bagi terhambatnya kemajuan Negara, juga
sebagian besar pelaku korupsi berada pada jalur birokrasi yang memegang
kekuasaan sehingga di butuhkan lembaga superbodi agar bisa melewati regulasi
yang ada.
Sebagai contoh peran Polri dalam
melakukan penyidikan Korupsi terhadap kasus BNI, kasus korupsi yang dilakukan
oleh Gubernur ataupun Bupati, dalam prosesnya Polri menghadapi banyak kendala,
untuk melakukan pemblokiran terhadap suatu rekening Bank yang diduga sebagai
hasil pidana korupsi, Polri harus memiliki bukti awal yang cukup dan didasari
dengan Laporan Polisi yang resmi, dikirimkan melalui Bank Indonesia dan harus
mendapat persetujuan dari Gubernur Bank Indonesia, yang tentu saja prosesnya
memakan waktu yang cukup lama. Demikian halnya dalam melakukan pemeriksaan baik
sebagai saksi maupun Tersangka terhadap para Kepala Daerah seperti Gubernur
maupun Bupati, Polri harus mendapatkan persetujuan oleh Presiden melalui Kementerian
Dalam Negeri yang sudah barang tentu juga memerlukan waktu yang tidak sedikit.
Namun dengan segala keterbatasannya itu Polri selalu berusaha ekstra keras
untuk bersama-sama lembaga terkait dalam memberantas Korupsi. Karena korupsi
adalah musuh bersama yang harus diperangi tidak hanya dari luar akan tetapi
juga dari dalam lembaga Kepolisian itu sendiri, ada anekdot yang mengatakan
bahwa mustahil membersihkan lantai yang kotor dengan sapu yang kotor, artinya
mustahil Polri mampu memberantas Korupsi bila dari dalam internal kepolisian
sendiri masih melakukan perbuatan-perbuatan yang koruptif; seperti pungutan
liar, makelar kasus, jual beli jabatan, dsb
.
B.
Kewenangan
Polri dalam penegakan hukum tindak pidana Korupsi
Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) didalam pasal 1 angka 4 menyatakan
bahwa penyelidik itu adalah: “Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang
diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.” Jadi yang
dapat menjadi penyelidik adalah Pejabat Polisi Negara Negara Republik
Indonesia, selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tidak bisa menjadi
penyelidik. Tugas penyelidik ialah melakukan penyelidikan yang merupakan
serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP (pasal 1 angka 5 KUHAP).
Diuraikan
dalam pasal selanjutnya yaitu pada pasal 6 KUHAP bahwa penyidik ialah:
1. Pejabat polisi Negara Republik
Indonesia,
2. Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Orang
yang bisa menjadi Penyidik disini lebih luas cakupannya, dimana bukan hanya
dari pejabat POLRI saja tetapi juga dari Pejabat Pegawai Negeri Sipil, perlu di
ingat bahwa tidak semua Pejabat Pegawai Negeri Sipil dapat menjadi penyidik,
yang bisa menjadi penyidik hanya Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu saja
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Penyidikan merupakan
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti untuk membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (pasal 1 angka 2
KUHAP).
“Adapun tujuan penyelidik dan
penyidik yaitu mencari dan mengumpulkan bahan-bahan, bahan-bahan pembuktian itu
dapat berupa benda atau orang terhadap benda-benda maka penyidik atau
penyelidik atas perintah penyidik mempunyai kewenangan dengan seizin Pengadilan
Negeri setempat untuk melakukan penyitaan (pasal 38 KUHAP), penggeledahan rumah
(pasal 33 KUHAP), pemeriksaan surat-surat (pasal 47 KUHAP), sedangkan terhadap
orang penyidik
berwenang melakukan penangkapan
serta penahanan (pasal 16 sampai 20 KUHAP).”
Terkait dengan saling mengklaim kewenangan
penyidikan terhadap kasus Korupsi Pengadaan Simulator Surat Izim Mengemudi
(SIM) pada Korlantas Mabes POLRI yang melibatkan POLRI dan KPK, kedua lembaga
tersebut sama-sama beralasan memiliki dasar hukum dalam melakukan penyidikan
dimana POLRI beralasan memiliki wewenang berdasarkan
ketentuan
dalam KUHAP dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, sedangkan KPK melakukan penyidikan berdasarkan ketentuan
Pasal 6 huruf c Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasn
Korupsi. Kedua lembaga tersebut telah melakukan penyidikan dan masing-masing
menetapkan tersangka antara lain:
POLRI
menetapkan lima tersangka yakni bekas Wakil Kepala Korps Lantas Brigadir
Jenderal Didik Purnomo, Ketua Panitia Pengadaan Ajun Komisaris Besar Polisi
Teddy Rusmawan, Bendahara Korps Lantas Komisaris Legimo, Direktur Utama PT
Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo Bambang, dan Direktur Citra Mandiri
Metalindo Abadi Budi Santoso. KPK telah menetapkan empat orang tersangka.
Keempatnya adalah Didik, Sukotjo, Budi, dan Gubernur Akademi Kepolisian yg juga
bekas Kepala Korps Lantas POLRI Inspektur Jenderal Djoko Susilo.Penyidik POLRI
dalam melakukan serangkaian tindakan dalam penyidikan, mempunyai wewenang
sebagaimana diatur dalam pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia:
a. Melakukan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan;
b. Melarang setiap orang
meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan
penyidikan;
c. Membawa dan menghadapkan orang
kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
d. Menyuruh berhenti orang yang
dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
e. Melakukan pemeriksaan dan
penyitaan surat;
f. Memanggil orang untuk didengar
dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. Mendatangkan orang ahli yang
diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. Mengadakan penghentian
penyidikan;
i.
Menyerahkan
berkas perkara kepada penuntut umum;
j.
Mengajukan
permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat
pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau
menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
k. Memberi petunjuk dan bantuan
penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan
penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
l.
Mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Jika
mengacu ketentuan KUHAP terlihat bahwa penyidikan terhadap suatu tindak pidana
dapat dilakukan oleh penyidik POLRI dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu,
pada prinsipnya POLRI mempunyai wewenang yang diamanatkan oleh undang-undang
untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana baik tindak pidana yang
diatur didalam KUHP maupun tindak pidana khusus diluar KUHP termasuk didalamnya
penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi sebagai suatu Tindak Pidana Khusus.
Dalam
BAB IV pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan: “Penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sindang pengadilan terhadap Tindak Pidana
Korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali
ditentukan lain dalam undangundang ini”. Salah satu pengecualian ketentuan
dalam KUHAP terdapat dalam pasal 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
Pasal 30
Penyidik berhak membuka,
memeriksa dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi atau alat
lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara Tindak Pidana Korupsi
yang sedang diperiksa.
Penjelasan pasal 30:
ketentuan ini untuk memberikan
kewenangan pada penyidik yang pada dasarnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana untuk membuka, memeriksa, atau menyita surat harus memeperoleh
izin terlebih dahulu dari ketua Pengadilan Negeri.
C.
Peran
Jaksa dalam penegakan hukum tindak pidana Korupsi
kejaksaan
RI, yang merupakan salah satu lembaga penegak hukum, disamping KPK dan
Kepolisian, melakukan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan
menumpas habis sampai ke akar-akarnya, minimal dapat memberi efek jera bagi
yang akan melakukan korupsi.
Meskipun
dalam kenyataan di lapangan, ketiga lembaga penegak hukum sudah cukup gencar
melakukan penegakan hukum dalam memberantas korupsi, tetap saja masih banyak
yang melakukannya, hal ini terlihat dari hasil Indeks Persepsi Korupsi (CPI)
2014 yang dirilis Transparansi Internasional (Desember 2014). Di Asia Tenggara,
Singapura menjadi negara terbersih dengan menempati peringkat 7 daftar CPI
Transparansi Internasional. Lalu dimana posisi Indonesia ? Indonesia duduk di
peringkat 107 dari 175 negara. Posisi Indonesia jauh berada di bawah Singapura
(7), Malaysia, Filipina, dan Thailand (85).
Untuk
urusan korupsi, Indonesia hanya lebih baik dari Vietnam (119), Timor Leste
(133), Laos (145), serta Kamboja dan Myanmar (156). Indonesia juga lebih baik
ketimbang Rusia (136), Ukraina (142), Paraguay (150), Kolombia (161), dan
sejumlah negara di Afrika. Dengan adanya indeks ini, harapan semua kalangan
tindak pidana korupsi bisa ditekan dan ini merupakan suatu tantangan bagi lembaga
Kejaksaan.
Tantangan
bagi Kejaksaan dan harapan masyarakat terhadap lembaga Kejaksaan untuk
melakukan tugasnya secara profesional dan bertanggung jawab, sebagaimana amanat
Undang-undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1)
ditegaskan bahwa "Kejaksaan RI adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan
undang-undang" dan dalam Pasal 30, disebutkan antara lain, Kejaksaan
sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), dan mempunyai kedudukan
sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat
menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak
berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang
Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan
peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan tugas
penyidikan dan penuntutan.
Pemerintah
pun sesungguhnya telah berupaya keras melakukan pemberantasan korupsi, hal ini
terlihat dari banyaknya regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah bersama
dengan DPR, antara lain dengan UU No. 31 Tahun 1999. Yang mengatur masalah
pembuktian terbalik bagi pelaku korupsi dan juga pemberlakuan sanksi yang lebih
berat bagi koruptor. Belakangan Undang-undang ini juga dipandang lemah dan
menyebabkan lolosnya para koruptor karena tidak adanya Aturan Peralihan dalam
UU tersebut.
Polemik
tentang kewenangan jaksa dan polisi dalam melakukan penyidikan kasus korupsi
juga tidak bisa diselesaikan oleh UU ini, kemudian keluar lagi UU No.20 Tahun
2001 yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan dapat melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana korupsi.
Dan,
akhirnya pemerintah membentuk satu lembaga yang superbody yaitu Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-undang Nomor 30 tahun 2003,
dengan tugas antara lain, melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; supervisi terhadap instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, suatu hal yang menarik
di KPK ini tenaga penyidiknya dari unsur Kepolisian RI, penuntut umumnya dari
Kejaksaan RI. Dengan demikian ada tiga institusi di Indonesia yang memiliki
kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.
Dengan
kondisi praktek korupsi yang masih terjadi secara masif, sistematis dan
terstrukur pada lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif serta di Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) maupun BUMD, lembaga jasa keuangan dan perbankan
serta di berbagai kehidupan masyarakat lainnya. Pemerintah sesungguhnya terus
berupaya dengan tindakan pencegahan seperti sosialisasi dan penyuluhan agar
jumlah kasus tindak pidana korupsi mengalami penurunan.
D.
Kewenangan
Jaksa dalam penegakan hukum tindak pidana Korupsi
Berdasarkan ketentuan Pasal 284
ayat (2) KUHAP jo.Pasal 17 PP No.27 Tahun 1983 jo.Pasal 26 Undang-Undang nomor
31 Tahun 1999 jo.Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
jo.Pasal 44 ayat (4) serta Pasal 50 ayat 1,2,3,4 Undang-Undang nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.Pasal 30 huruf d
Undang-Undang nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
Kejaksaan adalah salah satu institusi penegak hukum yang diberi wewenang
melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Disamping
itu, Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf a
KUHAP jo. Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
berdasarkan Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK
diberi wewenang sebagai penyidik, bahkan KPK tidak saja diberi wewenang melakukan
penyidikan, tetapi juga melakukan penuntutan sendiri terhadap tindak pidana
korupsi.
Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal
17 PP No.27/1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
menegaskan bahwa :
“Wewenang penyidikan dalam tindak pidana tertentu yang diatur secara
khusus oleh undang - undang tertentu dilakukan oleh Penyidik, Jaksa dan Pejabat
penyidik yang berwenang lainnya yang ditunjuk berdasarkan peraturan
perundang-undangan”.
Bagi penyidik dalam perairan
Indonesia, Zona Tambahan, Landasan Kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia, penyidikan dilakukan oleh perwira Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Laut dan pejabat penyidik lainnya yang ditentukan oleh undang-undang
yang mengaturnya.
Berdasarkan ketentuan tersebut,
maka secara garis besar ada empat institusi penyidik yang mempunyai wewenang
untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana yaitu penyidik Polri yang
diangkat oleh Kapolri, PPNS berdasarkan usul departemen yang bersangkutan
diangkat oleh Menteri Kehakiman, penyidik TNI-AL diangkat oleh Panglima TNI,
dan penyidik kejaksaan yang diangkat oleh Jaksa Agung. Mekanisme kerja dari
keempat institusi penyidik tersebut juga berbeda-beda yaitu ada yang melakukan
proses penyidikan melalui koordinasi dengan penyidik Polri dan ada yang
langsung menyerahkan berkas perkaranya ke penuntut umum berdasarkan ketentuan
undang-undang yang menjadi dasar hukum masing-masing.
Kejaksaan di dalam melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan dan tugas-tugas lain yang ditetapkan oleh
undang-undang tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 dilaksanakan secara merdeka, artinya sesuai dengan
penjelasan pasal tersebut, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan
pengaruh kekuasaan lainnya.
Sebagai landasan pijak Kejaksaan
dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya melakukan penyidikan dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi mengacu kepada Undang-Undang No.31Tahun 1999
jo.Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum materil
dan Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai
hukum pidana formil, serta UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia.
Di dalam undang-Undang No.8 Tahun
1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pada Pasal 1 tentang
ketentuan umum Kejaksaan hanya diberi wewenang sebagai penuntut umum namun,
dalam Pasal 284 Ayat (2) KUHAP terdapat pengecualian. Pasal 284 Ayat (2)
menegaskan bahwa :
“Dalam waktu dua tahun
setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan
ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai
ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu,
sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.
Selanjutnya dalam Undang-Undang No.16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia pada Pasal 30 menegaskan bahwa :
a)
Di bidang pidana, Kejaksaan
mempunyai tugas dan wewenang:
1.
penuntutan;
2.
melaksanakan penetapan
hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
3.
melakukan pengawasan
terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana melakukan pengawasan,
dan keputusan lepas bersyarat;
4.
melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
5.
melengkapi berkas
perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum
dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan
penyidik.
b)
Di bidang perdata dan tata usaha negara,
Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar
pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
c)
Di bidang ketertiban
dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan :
1.
peningkatan kesadaran
hukum masyarakat;
2.
pengawasan kebijakan
penegakan hukum;
3.
pengawasan peredaran
barang cetakan;
4.
pengawasan aliran
kepercayaan yang membahayakan masyarakat dan negara;
5.
pencegahan
penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
6.
penelitian dan
pengembangan hukum secara statistik kriminal.
Kejaksaan juga diberi wewenang
sebagai penyidik dalam kasus tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 26
Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
jo.Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menegaskan bahwa :
“Penyelidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana
korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang ini”.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
sistem
hukum nasional terkait dengan upaya melakukan pemberantasan korupsi
sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Terbukti dalam KUHP, UU Korupsi dan juga
sampai dengan lahirnya UU No 30 tahun 2002, tentang Komisi Tindak Pidana
Korupsi juga telah disepakati dengan pendekatan instrumen hukum lainnya,
termasuk pelaporan harta kekayaan pejabat negara. Namun, efektifitas dari
instrumen hukum tersebut ternyata belum dapat memberikan dampak positif
terhadap terbangunya pemerintah yang baik dan bersih
(good governance and clean governmence).
Persoalan tindak pidana korupsi bukan sekedar fenomena ekonomi semata, tetapi
terkait dengan fenomena politik, budaya, hukum dan juga karena warisan
nilai-nilai intistitusi emerintahan itu sendiri yang cenderung menyimpang (corrupt)
di masa lalu yang juga masih berpengaruh sampai saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar