web stats

Kamis, 14 Mei 2015

Peran dan Wewenang Polri serta Jaksa dalam Tindak Pidana Korupsi

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dalam Pasal 1 ayat (3) secara jelas menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (Rechstaat), sehingga Negara Indonesia bukanlah negara yang berdasarkan pada kekuasaan belaka (machstaat). Konsekuensi yang timbul kemudian adalah Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin persamaan setiap warga negara dihadapan hukum dan pemerintahan.
Hukum pada hakikatnya sesuatu yang abstrak, meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud konkrit. Oleh karena itu, pertanyaan mengenai apakah hukum itu senantiasa merupakan pertanyaan yang jawabannya beraneka ragam tergantung dari sudut mana mereka memandangnya.
Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Sasaran hukum bukan hanya sekedar memidana orang yang telah melakukan perbuatan melawan hukum, melainkan juga mencegah perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi. Hukum senantiasa berusaha untuk menjamin dan melindungi hak-hak individu dan masyarakat serta menjaga kepentingan negara dari penyimpangan dan penyangkalan.
Salah satu kajian hukum yang paling penting adalah kajian hukum pidana. Hukum pidana dapat dirumuskan sebagai sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadappelanggarnya diancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi mereka yang mewujudkannya. Hukum pidana terbagi atas 2 (dua) yaitu hukum pidana materil yaitu mengenai petunjuk dan uraian tentang tindak pidana, dan hukum pidana formil yaitu cara negara dengan perantara para pejabatnya dalam menegakkan hukum materil. Perbuatan yang melanggar aturan-aturan inilah yang disebut dengan tindak pidana.
Salah satu tindak pidana yang fenomenal yang marak terjadi yaitu kasus tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah semakin meluas dikalangan masyarakat Indonesia. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun dan telah menjadi gaya hidup orang banyak saat ini, terbukti dengan semakin merambahnya budaya korupsi mulai dari pusat sampai ke tingkat daerah.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh transparency.org tahun 2012, sebuah lembaga independen dari 146 (seratus empat puluh enam) negara mencatat bahwa ada sepuluh negara terkorup di dunia, yaitu: 1.Azerbaijan,2.Bangladesh, 3.Bolivia, 4.Kamerun, 5.Indonesia, 6.Irak, 7. Kenya, 8.Nigeria, 9.Pakistan, 10.Rusia.
Data tersebut menunjukkan bahwa negara Indonesia adalah negara terkorup kelima di dunia, dan menduduki peringkat pertama negara terkorup di tingkat Asia-Pasifik. Selanjutnya 5 (lima) negara terkorup se-Asia Pasifik menurut survey transparency.org : 1.Indonesia, 2.Kamboja, 3.Vietnam, 4.Filipina, 5.India. Suatu survey yang menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia sangat membahayakan kehidupan perekonomian nasional sehingga dianggap sebagai suatu kejahatan yang luar biasa. Praktek korupsi yang semakin meningkat dengan pola yang lebih sistematis dan canggih merupakan suatu masalah serius bagi upaya penegakan hukum di Indonesia
Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multidimensional serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi yaitu dampak dari kejahatan ini, maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya aparat penegak hukum.
Meningkatnya kasus tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja bagi kehidupan perekonomian nasional, tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Kegagalan elit politik Indonesia melakukan upaya serius memberantas korupsi jelas akan membahayakan demokrasi. Rakyat akan menyalahkan demokrasi atas kesulitan yang dihadapinya, padahal kesulitan itu disebabkan oleh korupsi.
Berbagai peraturan-peraturan yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi serta pembentukan lembaga-lembaga untuk pemberantasan korupsi dalam kenyataannya belum mampu memberantas tindak pidana korupsi. Hal ini menunjukkan tidak berfungsinya dimensi politik kriminal dari perangkat hukum pidana yang ada, khususnya yang mengatur Korupsi
Permasalahan korupsi sesungguhnya bersifat universal, karena tidak ada satu negarapun yang "immune" menghadapi korupsi. Hanya saja, bagi negara-negara berkembang perjuangan untuk memberantas korupsi dirasakan sebagai usaha yang sangat sulit, berhubung system kemasyarakatan maupun sistem politik pemerintahan yang belum mendukung.
Di Indonesia, masalah korupsi seperti yang tidak pernah berakhir melanda kehidupan masyarakat Indonesia. Dari awal Negara Republik Indonesia berdiri hingga saat ini, pemerintah dan masyarakat senantiasa disibukkan dalam urusan pemberantasan kejahatan korupsi. Perhatikan saja, cukup banyak peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi yang dibuat dan diganti dalam kurun waktu keberadaan negara ini. Berturut-turut peraturan perundang-undangan silih berganti, mulai dari KUHP, Peraturan Penguasa Militer Nomor : Prt/PM/06/1957 tertanggal 9 April 1957, Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor : PRTIPEPERPU/013/1958 tanggal 16 April 1958, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor : 24 Tahun 1960 (yang disahkan menjadi undang-undang berdasarkan UndangUndang Nomor I Tahun 1961), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 200 I sampai dengan terakhir Undang-Undang Nomor 30 Tahun2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jika diamati setiap konsiderans maupun penjelasan umum perundangundangan, maka akan temyata bahwa setiap pergantian atau perubahan perundang-undangan senantiasa didasarkan pada "pertimbanganpertimbangan
" bahwa korupsi telah banyak merugikan keuangan dan perekonomian negara, perundang-undangan yang ada tidak lagi efektif memberantas tindak pidana korupsi yang semakin meningkat dan kompleks.
Berbagai peraturan-peraturan yang mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi serta pembentukan lembaga-lembaga untuk pemberantasan korupsi dalam kenyataannya belum mampu memberantas tindak pidana korupsi. Hal ini menunjukkan tidak berfungsinya dimensi politik kriminal dari perangkat hukum pidana yang ada, khususnya yang mengatur Korupsi

B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah peran Polri dalam penegakan hukum tindak pidana Korupsi ?
2.      Bagaimanakah kewenangan Polri dalam penegakan hukum tindak pidana Korupsi?
3.      Bagaimanakah peran Jaksa dalam penegakan hukum tindak pidana Korupsi ?
4.      Bagaimanakah kewenangan Jaksa dalam penegakan hukum tindak pidana Korupsi ?

































BAB II
PEMBAHASAN

A. Peran Polri dalam penegakan hukum tindak pidana Korupsi
Peran Polri dalam penegakan hukum Tindak Pidana korupsi?, dalam Undang-undang No 2 tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia pada pasal 14 huruf g menyebutkan “Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan Penyelidikan dan Penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”. Dan sesuai dengan bunyi pasal 25 UU no 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya”, Hal ini selaras dengan semangat reformasi Polri yang membuat grand strategi Polri dengan Kebijakan Strategis Pimpinan Polri di dalamnya, Bahwa  pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah merupakan prioritas bagi Polri. Peran Polri disini menjadi sangat penting, karena Polri menjadi ujung tombak dalam penegakan hokum, meskipun dalam perkembangannya selain Polisi dan Jaksa, Negara membentuk lembaga lain yang khusus menangani tindak pidana Korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hal ini disebabkan karena Tindak Pidana Korupsi adalah Kejahatan yang merupakan ekstra ordinary crime dan mempunyai implikasi sangat besar bagi terhambatnya kemajuan Negara, juga sebagian besar pelaku korupsi berada pada jalur birokrasi yang memegang kekuasaan sehingga di butuhkan lembaga superbodi agar bisa melewati regulasi yang ada.
Sebagai contoh peran Polri dalam melakukan penyidikan Korupsi terhadap kasus BNI, kasus korupsi yang dilakukan oleh Gubernur ataupun Bupati, dalam prosesnya Polri menghadapi banyak kendala, untuk melakukan pemblokiran terhadap suatu rekening Bank yang diduga sebagai hasil pidana korupsi, Polri harus memiliki bukti awal yang cukup dan didasari dengan Laporan Polisi yang resmi, dikirimkan melalui Bank Indonesia dan harus mendapat persetujuan dari Gubernur Bank Indonesia, yang tentu saja prosesnya memakan waktu yang cukup lama. Demikian halnya dalam melakukan pemeriksaan baik sebagai saksi maupun Tersangka terhadap para Kepala Daerah seperti Gubernur maupun Bupati, Polri harus mendapatkan persetujuan oleh Presiden melalui Kementerian Dalam Negeri yang sudah barang tentu juga memerlukan waktu yang tidak sedikit. Namun dengan segala keterbatasannya itu Polri selalu berusaha ekstra keras untuk bersama-sama lembaga terkait dalam memberantas Korupsi. Karena korupsi adalah musuh bersama yang harus diperangi tidak hanya dari luar akan tetapi juga dari dalam lembaga Kepolisian itu sendiri, ada anekdot yang mengatakan bahwa mustahil membersihkan lantai yang kotor dengan sapu yang kotor, artinya mustahil Polri mampu memberantas Korupsi bila dari dalam internal kepolisian sendiri masih melakukan perbuatan-perbuatan yang koruptif; seperti pungutan liar, makelar kasus, jual beli jabatan, dsb

.

B.  Kewenangan Polri dalam penegakan hukum tindak pidana Korupsi
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) didalam pasal 1 angka 4 menyatakan bahwa penyelidik itu adalah: “Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.” Jadi yang dapat menjadi penyelidik adalah Pejabat Polisi Negara Negara Republik Indonesia, selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tidak bisa menjadi penyelidik. Tugas penyelidik ialah melakukan penyelidikan yang merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP (pasal 1 angka 5 KUHAP).
Diuraikan dalam pasal selanjutnya yaitu pada pasal 6 KUHAP bahwa penyidik ialah:
1.      Pejabat polisi Negara Republik Indonesia,
2.      Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Orang yang bisa menjadi Penyidik disini lebih luas cakupannya, dimana bukan hanya dari pejabat POLRI saja tetapi juga dari Pejabat Pegawai Negeri Sipil, perlu di ingat bahwa tidak semua Pejabat Pegawai Negeri Sipil dapat menjadi penyidik, yang bisa menjadi penyidik hanya Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu saja yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti untuk membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (pasal 1 angka 2 KUHAP).
“Adapun tujuan penyelidik dan penyidik yaitu mencari dan mengumpulkan bahan-bahan, bahan-bahan pembuktian itu dapat berupa benda atau orang terhadap benda-benda maka penyidik atau penyelidik atas perintah penyidik mempunyai kewenangan dengan seizin Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan penyitaan (pasal 38 KUHAP), penggeledahan rumah (pasal 33 KUHAP), pemeriksaan surat-surat (pasal 47 KUHAP), sedangkan terhadap orang penyidik
berwenang melakukan penangkapan serta penahanan (pasal 16 sampai 20 KUHAP).”
 Terkait dengan saling mengklaim kewenangan penyidikan terhadap kasus Korupsi Pengadaan Simulator Surat Izim Mengemudi (SIM) pada Korlantas Mabes POLRI yang melibatkan POLRI dan KPK, kedua lembaga tersebut sama-sama beralasan memiliki dasar hukum dalam melakukan penyidikan dimana POLRI beralasan memiliki wewenang berdasarkan
ketentuan dalam KUHAP dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sedangkan KPK melakukan penyidikan berdasarkan ketentuan Pasal 6 huruf c Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasn Korupsi. Kedua lembaga tersebut telah melakukan penyidikan dan masing-masing menetapkan tersangka antara lain:
POLRI menetapkan lima tersangka yakni bekas Wakil Kepala Korps Lantas Brigadir Jenderal Didik Purnomo, Ketua Panitia Pengadaan Ajun Komisaris Besar Polisi Teddy Rusmawan, Bendahara Korps Lantas Komisaris Legimo, Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo Bambang, dan Direktur Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Santoso. KPK telah menetapkan empat orang tersangka. Keempatnya adalah Didik, Sukotjo, Budi, dan Gubernur Akademi Kepolisian yg juga bekas Kepala Korps Lantas POLRI Inspektur Jenderal Djoko Susilo.Penyidik POLRI dalam melakukan serangkaian tindakan dalam penyidikan, mempunyai wewenang sebagaimana diatur dalam pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia:
a.       Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
b.      Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
c.       Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
d.      Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
e.       Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f.       Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g.       Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h.      Mengadakan penghentian penyidikan;
i.        Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j.        Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
k.      Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
l.        Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Jika mengacu ketentuan KUHAP terlihat bahwa penyidikan terhadap suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh penyidik POLRI dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu, pada prinsipnya POLRI mempunyai wewenang yang diamanatkan oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana baik tindak pidana yang diatur didalam KUHP maupun tindak pidana khusus diluar KUHP termasuk didalamnya penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi sebagai suatu Tindak Pidana Khusus.
Dalam BAB IV pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan: “Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sindang pengadilan terhadap Tindak Pidana Korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undangundang ini”. Salah satu pengecualian ketentuan dalam KUHAP terdapat dalam pasal 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
Pasal 30
Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara Tindak Pidana Korupsi yang sedang diperiksa.
Penjelasan pasal 30:
ketentuan ini untuk memberikan kewenangan pada penyidik yang pada dasarnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk membuka, memeriksa, atau menyita surat harus memeperoleh izin terlebih dahulu dari ketua Pengadilan Negeri.

C. Peran Jaksa dalam penegakan hukum tindak pidana Korupsi
            kejaksaan RI, yang merupakan salah satu lembaga penegak hukum, disamping KPK dan Kepolisian, melakukan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi dan menumpas habis sampai ke akar-akarnya, minimal dapat memberi efek jera bagi yang akan melakukan korupsi.
            Meskipun dalam kenyataan di lapangan, ketiga lembaga penegak hukum sudah cukup gencar melakukan penegakan hukum dalam memberantas korupsi, tetap saja masih banyak yang melakukannya, hal ini terlihat dari hasil Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2014 yang dirilis Transparansi Internasional (Desember 2014). Di Asia Tenggara, Singapura menjadi negara terbersih dengan menempati peringkat 7 daftar CPI Transparansi Internasional. Lalu dimana posisi Indonesia ? Indonesia duduk di peringkat 107 dari 175 negara. Posisi Indonesia jauh berada di bawah Singapura (7), Malaysia, Filipina, dan Thailand (85).
            Untuk urusan korupsi, Indonesia hanya lebih baik dari Vietnam (119), Timor Leste (133), Laos (145), serta Kamboja dan Myanmar (156). Indonesia juga lebih baik ketimbang Rusia (136), Ukraina (142), Paraguay (150), Kolombia (161), dan sejumlah negara di Afrika. Dengan adanya indeks ini, harapan semua kalangan tindak pidana korupsi bisa ditekan dan ini merupakan suatu tantangan bagi lembaga Kejaksaan.
            Tantangan bagi Kejaksaan dan harapan masyarakat terhadap lembaga Kejaksaan untuk melakukan tugasnya secara profesional dan bertanggung jawab, sebagaimana amanat Undang-undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa "Kejaksaan RI adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang" dan dalam Pasal 30, disebutkan antara lain, Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), dan mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.
            Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan tugas penyidikan dan penuntutan.
            Pemerintah pun sesungguhnya telah berupaya keras melakukan pemberantasan korupsi, hal ini terlihat dari banyaknya regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah bersama dengan DPR, antara lain dengan UU No. 31 Tahun 1999. Yang mengatur masalah pembuktian terbalik bagi pelaku korupsi dan juga pemberlakuan sanksi yang lebih berat bagi koruptor. Belakangan Undang-undang ini juga dipandang lemah dan menyebabkan lolosnya para koruptor karena tidak adanya Aturan Peralihan dalam UU tersebut.
            Polemik tentang kewenangan jaksa dan polisi dalam melakukan penyidikan kasus korupsi juga tidak bisa diselesaikan oleh UU ini, kemudian keluar lagi UU No.20 Tahun 2001 yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan dapat melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.
            Dan, akhirnya pemerintah membentuk satu lembaga yang superbody yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Undang-undang Nomor 30 tahun 2003, dengan tugas antara lain, melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, suatu hal yang menarik di KPK ini tenaga penyidiknya dari unsur Kepolisian RI, penuntut umumnya dari Kejaksaan RI. Dengan demikian ada tiga institusi di Indonesia yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.
            Dengan kondisi praktek korupsi yang masih terjadi secara masif, sistematis dan terstrukur pada lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif serta di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun BUMD, lembaga jasa keuangan dan perbankan serta di berbagai kehidupan masyarakat lainnya. Pemerintah sesungguhnya terus berupaya dengan tindakan pencegahan seperti sosialisasi dan penyuluhan agar jumlah kasus tindak pidana korupsi mengalami penurunan.

D. Kewenangan Jaksa dalam penegakan hukum tindak pidana Korupsi
            Berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo.Pasal 17 PP No.27 Tahun 1983 jo.Pasal 26 Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 jo.Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.Pasal 44 ayat (4) serta Pasal 50 ayat 1,2,3,4 Undang-Undang nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.Pasal 30 huruf d Undang-Undang nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan adalah salah satu institusi penegak hukum yang diberi wewenang melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Disamping itu, Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP jo. Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK diberi wewenang sebagai penyidik, bahkan KPK tidak saja diberi wewenang melakukan penyidikan, tetapi juga melakukan penuntutan sendiri terhadap tindak pidana korupsi.
Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 17 PP No.27/1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, menegaskan bahwa :
Wewenang penyidikan dalam tindak pidana tertentu yang diatur secara khusus oleh undang - undang tertentu dilakukan oleh Penyidik, Jaksa dan Pejabat penyidik yang berwenang lainnya yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
Bagi penyidik dalam perairan Indonesia, Zona Tambahan, Landasan Kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, penyidikan dilakukan oleh perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dan pejabat penyidik lainnya yang ditentukan oleh undang-undang yang mengaturnya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka secara garis besar ada empat institusi penyidik yang mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana yaitu penyidik Polri yang diangkat oleh Kapolri, PPNS berdasarkan usul departemen yang bersangkutan diangkat oleh Menteri Kehakiman, penyidik TNI-AL diangkat oleh Panglima TNI, dan penyidik kejaksaan yang diangkat oleh Jaksa Agung. Mekanisme kerja dari keempat institusi penyidik tersebut juga berbeda-beda yaitu ada yang melakukan proses penyidikan melalui koordinasi dengan penyidik Polri dan ada yang langsung menyerahkan berkas perkaranya ke penuntut umum berdasarkan ketentuan undang-undang yang menjadi dasar hukum masing-masing.
Kejaksaan di dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan tugas-tugas lain yang ditetapkan oleh undang-undang tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 dilaksanakan secara merdeka, artinya sesuai dengan penjelasan pasal tersebut, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Sebagai landasan pijak Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi mengacu kepada Undang-Undang No.31Tahun 1999 jo.Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum materil dan Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai hukum pidana formil, serta UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Di dalam undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pada Pasal 1 tentang ketentuan umum Kejaksaan hanya diberi wewenang sebagai penuntut umum namun, dalam Pasal 284 Ayat (2) KUHAP terdapat pengecualian. Pasal 284 Ayat (2) menegaskan bahwa :
Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.
Selanjutnya dalam Undang-Undang No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada Pasal 30 menegaskan bahwa :
a)      Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
1.      penuntutan;
2.      melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
3.      melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana melakukan pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
4.      melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
5.      melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
b)       Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
c)      Di bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan :
1.      peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
2.      pengawasan kebijakan penegakan hukum;
3.      pengawasan peredaran barang cetakan;
4.      pengawasan aliran kepercayaan yang membahayakan masyarakat dan negara;
5.      pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
6.      penelitian dan pengembangan hukum secara statistik kriminal.
Kejaksaan juga diberi wewenang sebagai penyidik dalam kasus tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo.Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menegaskan bahwa :
“Penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
              sistem hukum nasional terkait dengan upaya melakukan pemberantasan korupsi sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Terbukti dalam KUHP, UU Korupsi dan juga sampai dengan lahirnya UU No 30 tahun 2002, tentang Komisi Tindak Pidana Korupsi juga telah disepakati dengan pendekatan instrumen hukum lainnya, termasuk pelaporan harta kekayaan pejabat negara. Namun, efektifitas dari instrumen hukum tersebut ternyata belum dapat memberikan dampak positif terhadap terbangunya pemerintah yang baik dan bersih
(good governance and clean governmence). Persoalan tindak pidana korupsi bukan sekedar fenomena ekonomi semata, tetapi terkait dengan fenomena politik, budaya, hukum dan juga karena warisan nilai-nilai intistitusi emerintahan itu sendiri yang cenderung menyimpang (corrupt) di masa lalu yang juga masih berpengaruh sampai saat ini.
                       
Hubungan yang terpadu antara polisi dan jaksa dalam sistem peradilan pidana sangatlah penting artinya dalam penyelesaian perkara pidana terutama pada tahap pra-ajudikasi. Penuntutan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum harus betul-betul dipersiapkan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat membawa pada akhir perkara yaitu dibuktikannya unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan oleh si pelaku tindak pidana. Tentu saja penuntutan tadi tidak akan berhasil baik  jika "bahan dasarnya" yaitu berkas-berkas pemeriksaan yang berasal dari penyelidikan dan penyidikan oleh polisi jauh dari sempurna. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kegagalan atau ketidaksempurnaan proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dapat merupakan awal gagalnya proses penuntutan. Tidak hanya itu, tidak adanya keterpaduan antara polisi dan jaksa juga menyebabkan penuntut umum kurang menguasai berkas penuntutan sebab selama penyidikan polisi seolah bekerja sendiri sedang jaksa tinggal menunggu. Meskipun sudah ada prapenuntutan yang diharapkan dapat menutup celah kelemahan dalam kekurang terpaduan ini, pada kenyataannya baik di pihak kepolisian maupun di pihak kejaksaan masih saling menyalahkan jika timbul persoalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar