web stats

Rabu, 06 Mei 2015

HUKUM PERIKATAN DALAM PANDANGAN ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia merupakan mahluk sosial, tidak dapat bertahan apabila tidak ada bantuan dari orang lain. Maka dari itulah setiap manusia harus saling membantu atau bahu-membahu terutama di sini dengan jalan mengadakan perjanjian atau kontrak terhadap pihak yang bersangkutan. Akibat dari hal demikian maka timbullah perikatan yang mana ada kewajiban yang harus dipenuhi dan hal yagn harus dituntut.
Dalam islam, istilah ini sering disebut akad, mencakup perikatan maupun perjanjian. Islam juga mewajibkan orang yang terlibat dalam akad untuk memenuhi kewajiban terhadap orang lain. Misalnya saja dalam hutang, apabila orang yang berhutang tersebut meninggal dunia sedangkan ia belum membayar lunas, maka harus ditanggung oleh ahli waris. Dari gambaran tersebut betapa tegasnya Islam dalam perikatan atau akad. Kemudian apakah perikatan dalam Islam dengan akad pada umumnya selalu sama akan dijelaskan di sini. Semoga makalah ini akan membantu dalam memahami perikatan dalam Islam meskipun penjelasan di sini hanya bersifat mendasar dan pengantar saja.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud perikatan dalam islam ?
2.      Apa tujuan, unsur, syarat, jenis perikatan dalam islam ?
3.      Kapan berawal dan berakhirnya perikatan dalam islam ?














BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian perikatan dalam islam

Periktan dalam bahasa Arab terdapat dua istilah, pertama kata  ‘aqada artinya menyimpulkan, ( lihat Q.S. Al Maiah (5): 1, dalam kamus Al Munawir, Bahsa Arab Indonesia aqad adalah mengikat, dapat juga disebut ‘uquud artinya perjanjian (yang tercatat) kontrak. Kedua ‘ahdu  (lihat Q.S. Ali Imran (3) : 76,  yatiu berjanji.
            Dari segi bahasa aqad adalah ikatan, mengikat. Ikatan artinya menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali.
            Fathurrahman Djamil menyamakan kata al ‘aqdu dengan istilah verbintenisdalam KUH Perdata. Sedaangkan Istilah al ‘ahdu disamakan dengan perjanjian atauovereenkomst, yaitu pernyataan dari seorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tiidak berkaitan dengan orang lain.  
Oleh Quraish Shihab kata ‘uquud diberikata pengertian mengikat sesuatu dengan sesuatu sehingga tidak menjadi bagiannya dan tidak terpisah dengannya.
            Dalam Kompilasi hukum Ekonomi Syariah kata aqad diberi perngerttian adalah kesepakatan dalalm suatu perjanjinan antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tiidak melakukan perbuatan hukum tertentu.
            Jadi hukum perikatan Islam adalah seperangkat kaidah hukum Islam yang mengatur tentang hubungnan antara dua pihak atau lebih mengenai suatu benda atau barang yang menjadi halal dari suatu objek transaksi.
Menurut para ahli hukum Islam (fuqaha) aqad adalah pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.
            Dengan demikian kaidah-kaidah hukum yang berhubngan langsung dengan hukum perikatan Islam  adalah bersumber dari Alqur’an dan Sunnah Rasulullah (syariah) dan hasil pemikiran manusia  (ijtiha) sebagai implemenatasi dari syariah yaitu fikih.  Ini berarti hukum perikatan Islam di satu  sisi bersifat hubungan perdata dan di satu sisi yang lain sebagai kepatuhan menjalankan ajaran agama Islam (syari’at Islam). hukum perikatan Islam bersifat  religiu transendental yang melekat pada kaidah-kaidah yang melingkupi  hukum perikatan Islalm itu sendiri sebagai pencerminan dari otoritas Allah
Dengan demikian subtansi hukum perikatan Islam  materinya lebih luas dari hukum perdata Barat. Hal ini dapat dilihat dari keterkaitan hukum perikatan itu sendiri  dengan hukum Islam , tiak hanya mengataru hubungan manusia dengan manusia (horisontal) tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan Allah (vertikal).
Menurut Abdoerraeof terjadi suatu perikatan (al aqdu) melalui tiga tahap, yaitu:
1.      Al ’Ahdu (perjanjian) = pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu  dan tidak tersangkut paut dengan kemauan orang lain.
2.      Pesetujuan = pernyataan setuju dari piihak kedua  untuk melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama. Persetujuan itu harus sesuai dengan janji pihak pertama.
3.        Apabila janji kedua pihak dilaksanakan maka terjadilah ‘aqdu.
Contoh: Ahmad menyatakan janji membeli sebuah rumah, kemudian Ali menyatakkakn menjuall sebuah rumah, maka Ahmad dan Ali berada pada tahap al ‘ahdu.  Apabila tipe rumah dan harg rumah telah disepakati oleh kedua pihak maka terjadi persetujuan.  Jika kedua janji tersebut dilaksanakan maka terjadi perikatan atau akdu di antara keduanya.

Menurut Subekti perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, beerdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal. Peristiwa perjanjian tersebut menimbulkan hubungan diantara aorang-orang tersebut yang disebut dengan perikatan. Jadi hubungan antra perikatan dgn perjanjian  aadalah perjanjian menimbulkan perikatan. Lihat Pasal 1233 KUH Perdata, bahwa perjanjian merupakan sumber perikatan.
                        Perbedaan hukum perikatan Islam dan hukum perikatan dalam KUH Perdata ada pada tahap perjanjian. Pada hukum perikatan Islam, janji pihak pertama terpiah dari janji phak kedua (dua tahap) baru kemudian lahir perikatan. Sedangkan dalam KUH Perdata perjanjian antara pihak pertama dan pihak kedua adalah satu tahap, yang kemudian melahirkan perikatan.
A. Gani Abdullah berpandangan bahwa hukum perikatan Islam titik tolak adalah ikrar (Ijab dan kabul) dalam tiap transaksi.
                                                                                  
B.     Tujuan Perikatan dalam Islam

               Seseorang yang melakukan perikatan atau akad, pasti mempunyai tujuan tertentu, seseorang tidak dapat dipaksakan untuk melakukan akad, terutama dalam perjanjian. Kecuali dalam perikatan alami, seperti hak bayi untuk dirawat dengan baik dan harta warisan, atau paksaan hukum yang bersifat sepihak.
            Tujuan perikatan dalam Islam atau akad yang dimaksud di sini ialah maksud utama disyari’atkannya akad. Artinya ada maksud tertentu namun harus sesuai ketentuan syari’ah, agar tujuan tersebut dapat terwujud. Tujuan tersebut akan menjadi sah apabila mempunyai akibat-akibat hukum yang dipelukan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Tujuan akad bukanlah merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan ketika akad belum diadakan seperti perikatan alami, namun hendaknya tujuan itu dilaksanakan di awal akad.
2.       Tujuan harus berlangsung hingga akhir akad.
3.      Tujuan akad harus dibenarkan syari’at Islam.
             Berdasarkan keterangan di atas, syarat dari tujuan perikatan dalam Islam atau akad harus jelas dari awal hingga akhir akad serta berdasarkan ketentuan syari’at Islam. Suatu tujuan erat kaitannya dengan aktivitas yang dilakukan, karena kegiatan pada hakekatnya untuk mencapai tujuan tersebut. Contohnya dalam jual beli, tujuan penjual untuk memindahkan hak milikanya kepada pembeli dan memperoleh uang dan keuntungan.

C.    Dasar Hukum Perikatan dalam Islam
1.      Al-Qur’an
﴾١﴿ ﺩﻮﻘﻌﻟﺎﺑ ﺍﻮﻓﻭﺃ ﺍﻮﻨﻣﺁ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﺎﻬﻳﺃﺎﻳ
Hai  orang-orang  yang  beriman  penuhi  lah  akad (perjanjian dan perikatan) diantara kamu”[7]


2.      Hadis
ﻞﻤﻋ :ﻝﺎﻗ ؟ ﺐﻴﻃﺃ ﺐﺴﻜﻟﺍ ﻯﺃ . ﻢﻌﻠﺻ ﻨﻟﺍ ﻥﺃ ﻊﻓﺍﺭ ﻦﺑ ﺔﻋﺎﻓﺭ ﻦﻋ
          .ﺭﻭ
ﻣ ﻊﻴﺑ ﻞﻛﻭ ﻩﺪﻴﺑ ﻞﺟﺮﻟﺍ
Dari Rifa’ah bin Rafi’ bahwasanya Nabi SAW, ditanya: Apakah pencaharian yang paling baik? Jawabnya: pekerjaan seseorang dengan tangannya sediri dan tiap-tiap jual beli yang mabrur”.[8]

3.      Ijma’ Ulama
Dalam hukum akad, terjadi perbedaan pendapat dari beberpa ulama mazhab. Salah satunya mazhab Hanbali bahwa akad bebas dilakukan selama tidak ada hal-hal yang jelas dilarang agama. Sedangkan pada mazhab hanafi, bahwa akad merupakan hal yang dilarang, kecuali apabila ada keadaan yang membuatnya untu berakad kepada orang lain (Istihsan). Kemudian mazhab lainnya seperti Syafi’i juga tidak membolehkan akad apabila objeknya belum ada di hadapan pihak yang membutuhkan.

D.    Unsur-unsur Perikatan dalam Islam

Unsur-unsur yang terdapat dalam perikatan sebagaimana dapa definisi aqad  yaitu pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.
Pada definisi terdapat tiga unsur yang terdapat dalam suatu perikatan, yaitu :
1.      Hubungan Ijab dan Qabul
Ijab adalah pernyataan kehendak oleh satu pihak (mujib) untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Qabul adalam pernyataan menerima atau menyetujui kehendak mujib tersebut pihak lainnya (qaabil). Unsur ijab dan qabul selalu ada dalam suatu perikatan.
2.      Dibenarkan oleh syara’
Aqad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syara’ (Alqur’an dan Sunnah Rasulullah). Demikian juga objek akad tidak boleh bertentangan dengan syara’ bila bertengangan maka akad itu tidak sah.
3.      Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya
Aqad merupakan tindakan hukum (tasharruf), menimbulkan akibat hukum terhadap objek hukum yang diperjanjikan.
Aqad merupakan salah bentuk perbuatn hukum (Tasharruf) yang oleh Musthafa Al Zarqa mendefiniskan dengan segala seuatu (perbuatan0 yang bersumber dari kehendak seseorang  dan syara’ menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum (hak dan kewajiban).
Menurut Musthafa Al Zarqa tasharruf memiliki dua bentuk, yaitu
a.       Tasharruf fi’li (perbuatan), = usaha yang dilakukan manusia dari tnaga dan badannya.
b.      Tashurruf qauli,  (perkataan) = usaha yang keluar dari lidah manuia. Tidak semua perkataan manusia  dimasukkan sebagai akad. Karena ada perkataan tidak termasuk akad tetapi merupakan uatu perbuatan hukum. Tasharruf qauli terbagi atas  dua bentuk, yaitu tashurru qauli aqdi dan tasharruf qauli gairu  aqdi.
c.       Tasharuuf qauli aqdi =  sesuatu yang dibentuk dari dua ucapan dua pihak yang saling bertalian (Ijab dan qabul).
d.       tasharruf qauli gairu  aqdi = perkatan yang tidak bersifat akad atau tidak ada Ijab dan qabul.
Tasharruf  qauli gairu  aqdi  ada dalam bentuk pernyataan dan dalam bentuk perwujudan.
1)      Perkataan yang berntuk pernyataan = pengadaan suatu hak atau mencabut uatu hak (Ijab saja).
2)      Perkataan dalam bentuk perwujudan = melakukan penuntutan hak atau dengaan perkataan menyebabkan adanya akibat hukum.

E.     Syarat Perikatan dalam Islam
Setelah di jelaskan rukun akad sebelumnya, akan dijelaskan lanjutannya berupa syarat-syarat dari perikatan Islam atau akad, yang mana akad akan terjadi apabila telah memenuhi syarat pada:
1.      Subjek Hukum (aqidain)
Menurut Ash-Shiddicqy, bahwa kedua belah pihak yang berakad atau melakukan perjanjian harus cakap (ahliyatul aqidaini). Baik itu perorangan maupun dengan badan hukum atau institusi. Tidak akan sah akad apabila dilakukan oleh orang gila , anak kecil yang belum mengetahui, dsb.
2.      Objek Hukum (mahallul aqad)
Objek akad atau perikatan haruslah dapat diterima secara hukum, terutama hukum Islam. Kemudian selain itu, objek akad terbagi beberapa persyaratan yang harus dipenuhi:
a.       Objek perikatan harus ada ketika dilangsungkan atau tersedia untuk diakadkan dan akad akan berakhir apabila objek tersebut telah diserahkan kepada yang berhak menerima. Islam tidak membolehkan menjual objek yang belum waktunya, seperti menjual anak sapi yang masih dalam kandungan atau menjual buah yang belum masak.
b.      Objek akad atau perikatan dalam Islam harus dibenarkan syari’ah. Tidak dibenarkan objek perikatan yang haram, baik zat maupun cara mendapatkannya. Inilah yang membedakan perikatan Islam dengan perikatan umum.
c.       Objek akad atau perikatan dalam Islam harus jelas dan dapat dikenali dari jenis, bentuk, ukuran, dan urgensi barang tersebut.
d.      Objek dapat diserah terimakan pada saat akad terjadi atau pada waktu yang telah disepakati sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dalam suatu transaksi.

F.     Jenis Perikatan dalam Islam

Dilihat dari kaitannya dengan objek perikatan, secara garis besar ada empat macam perikatan:
1.      Perikatan Utang (al Iltizam bi ad Dain)
              Kunci untuk memahami memahami konsep utang dalam hukum Islam adalah bahwa utang dinyatakan sebagai suatu yang terletak dalam dzimmah (tanggungan) sesorang. Sumber-sumber perikatan utang (al Iltizam bi ad Dain) dalam hukum Islam adalah sebagai berikut: yang pertama adalah akad, yang kedua adalah kehendak sepihak seperti wasiat, hibah, nazar yang objeknya adalah sejumlah uang atau benda, dan yang ketiga adalah perbuatan melawan hukum yaitu semua bentuk tanggungan (adh dhaman) yang timbul dari selain akad, seperti pencurian, perusakan yang objeknya adalah barang. Sumber yang keempat adalah pembayaran tanpa sebab, yang kelima adalah syara’ yaitu ketentuan syariah yang menetapkan kewajiban-kewajiban untuk melakukan pembayaran tertentu pada seseorang.
2.      Perikatan Benda (al Iltizam bi al ‘Ain)
               Perikatan benda merupakan suatu hubungan hukum yang objeknya adalah benda tertentu untuk dipindahmilikkan baik bendanya, manfaatnya atau untuk diserahkan atau dititipkan kepada orang lain. Sumber-sumber perikatan benda adalah akad dan ini merupakan sumber paling penting dari perikatan benda, seperti jual beli atau sewa menyewa. Sumber lainnya adalah kehendak sepihak seperti wasiat, dan perbuatan melawan hukum juga dapat dijadikan sumber perikatan benda, seperti kasus gasab.
3.      Perikatan Kerja/ Melakukan Sesuatu (al Iltizam bi al ‘Amal)
                Perikatan Kerja/ Melakukan Sesuatu (al Iltizam bi al ‘Amal) adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak untuk melakukan sesuatu. Sumbernya adalah akad istisna’ dan ijarah. Istisna’ adalah akad untuk melakukan sesuatu dimana bahan dan kerja dilakukan oleh pihak kedua atau pembuat. Sedangkan ijarah merupakan suatu akad atas beban yang objeknya adalah manfaat dan jasa. Akad ijarah ada dua yaitu ijarah al manafi (sewa menyewa) dan ijarah al a’mal(perjanjian kerja).
4.      Perikatan Menjamin (al Itizam bi at Tautsiq)
                Perikatan menjamin merupakan suatu bentuk perikatan yang objeknya adalah menanggung (menjamin) suatu perikatan. Maksudnya pihak ketiga mengikatkan diri untuk menanggung perikatan pihak kedua terhadap pihak pertama.
Perikatan yang ditanggung ada tiga macam, yaitu perikatan utang, perikatan benda dan orang  yang ditanggung dalam akad al kafalah bi an nafs
G.    Berawalnya Perikatan dalam Islam
Apabila dua orang atau pihak saling berjanji untuk melakukan atau memberikan sesuatu berarti masing-masing orang atau pihak mengikatkan diri kepada orang lain untuk melakukan atau memberikan sesuatu yang mereka perjanjikan, dengan demikian timbul ikatan serta hak dan kewajiban diantara keduanya. “Perikatan didefinisikan sebagai hubungan hukum menyangkut harta kekayaan antara dua pihak berdasarkan mana salah satu pihak dapat menuntut kepada pihak lain untuk memberikan, melakukan atau tidak melakukan sesuatu.”
Dalam hukum Islam, perikatan disebut iltizam. Menurut istilah fiqh, perikatan (iltizam) ini didefinisikan sebagai: “Suatu tindakan yang meliputi: pemunculan, pemindahan, dan pelaksanaan hak.” Definisi perikatan ini sejalan dengan pengertian akad (perjanjian) dalam arti umumnya selain juga tercakup kedalamnya pengerian tasaruf dan kehendak pribadi. Perikatan dapat muncul dari perseorangan (seperti wakaf, wasiat, dll.), maupun dari dua belah pihak (sepert jual-beli, ijarah, dll).
Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa, perikatan dalam perspektif UU Islam (qanun) didefinisikan sebagai: “Keadaan tertentu seseorang yang ditetapkan syari’ah untuk dilakukan atau tidak dilakukan demi mewujudkan kemaslahatan pihak lain.”
Unsur-unsur pembentuk perikatan dalam perspektif fiqhadalah:
1.      Multazam Iah yaitu orang yang berhak atas suatu prestasi.
2.      Multazim, yaitu orang yang berkewajiban memenuhi suatu prestasi.
3.      Mahal al-iltizam, atau obyek perikatan
4.      Perbuatan yang dituntut untuk mewujudkan perikatan.
5.      Iltizam atau perikatan itu sendiri.
Sesuatu atau peristiwa yang menimbulkan terjadinya perikatan disebut sebagi sumber perikatan (masdar al-iltizam). Sumber-sumber perikatan tersebut dalam hukum Islam adalah: akad, kehendak pribadi, perbuatan melawan hukum, perbuatan sesuai hukum, dan syari’ah. Macam-macam sumber perikatan tersebut pada hakikatnya dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu: akad, Undang-undang (qanun), dan kehendak perorangan.
H.    Berakhirnya Perikatan dalam Islam

Akad atau perikatan dalam Islam dapat berakhir karena umumnya dua hal, menurut Basyir, bahwa dual hal tersebut adalah telah tercapainya tujuan akad danfasakh atau waktunya berakhir. Fasakh tersebut berakhir karena sebab-sebab berikut:
1.      Difasakh, karena adanya hal-hal yang dilarang syara’, misalnya objek akadnya diketahui dari hasil yang tidak halal atau jual beli barang yang tidak memenuhi syarat kejelasan barang tersebut (gharar).
2.      Karena pembeli memilih untuk membatalkan jual beli karena sebab-sebab tertentu dalam khiyar, seperti ditemukan ada yang tidak sesuai pada barang yang ia beli seperti adanya kecacatan.
3.      Karena salah satu pihak membatalkan akad dengan catatan ada persetujuan lain. Cara fasakh ini disebut iqalah.
4.       Karena kewajiban yang ditimbulkan oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Misalnya karena overmact, yaitu keadaan yang membuat debitur tidak mampu memenuhi kewajiban dikarenakan faktor-faktor eksternal. Apabila pihak yang seharusnya memenuhi kewajiban dengan sengaja tidak melakukannya, maka dapat dilaporkan ke badan hukum litigasi (peradilan) atau/dan non litigasi (arbitrase) terutama yang telah distandarisasi syari’ah.
5.      Karena habis jangka waktunya, seperti dalam akad sewa manyewa dalam jangka waktu tertentu dengan catatan harus dikembalikan secara utuh apabila dalam penyewaan barang.








BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa perikatan dalam Islam adalah suatu hukum yang mengikat seseorang dengan orang lain dalam suatu perjanjian yang diatur secara syari’at Islam.
Unsur-unsur perikatan dalam Islam sama dengan rukun akad yang disepakati jumhur, yaitu pelaku akad, objek akad, dan ijab-qabul. Syarat-syaratnya pelaku akad harus cakap, objeknya jelas, halal, tersedia, dan dapat diserah terimakan. Asas-asanya yaitu asas ketuhanan, keadilan, kebolehan, kerelaan, tertulis, dsb.
Perbedaan perikatan dalam Islam dengan perikatan pada umumnya itu terlihat dari bagaimana perspektif Islam terhadap hukum perikatan itu. Misalnya Islam melarang riba dalam hutang-piutang, yaitu meminta bunga dari pengembalian pinjaman uang.
Apabila terjadi perselisihan atau persengketaan, selesaikan di dua badan hukum, pertama pada Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) terlebih dahulu, kemudian ke Peradilan Agama apabila tak dapat diselesaikan di BASYARNAS tersebut.
B.     Saran
1.      Kepada mahasiswa (i) agar dapat memahami dan melakukan penyelidikan lebih lanjut mengenai permasalahan yang disampaikan dalam makalah ini agar menambah dan memperluas wawasan pengetaguannya.
2.      Kepada setiap mahasiswa (i) yang membaca makalah ini agar dapat memberikan masukan, tanggapan, dan komentar yang positif dan membangun agar pengembangan makalah ini lebih sempurna.
3.      Kepada dosen yang bersangkuta agar memberikan penjelasan yang jelas, mendetil dan komprehensif agar mahasiwa (i) khususnya pada program studi Ilmu hukum di Universitas Muslim Indonesia agar dapat memahami tentang bagaimana hukum perikatan itu, khususnya perikatan dalam Islam.












KASUS NIKAH SIRIH ONLINE

            Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Asrorun Ni'an Sholeh mensinyalir praktek  prostitusi terselubung di balik fenomena pernikahan siri lewat online. "Kuat dugaan, layanan itu menawarkan praktek prostitusi berkedok pernikahan," ujarnya Rabu, 18 Maret 2015.

            Layanan nikah siri online marak diperbincangkan dalam beberapa pekan terakhir. Sejumlah situs diketahui menawarkan jasa itu dengan tarif jutaan rupiah. Para pemohon cukup berhubungan lewat sarana komunikasi seperti Skype dengan penyedia layanan yang berperan sebagai wali dan saksi nikah

            Menurut Asrorun, pada prinsipnya MUI menghalalkan nikah siri. Namun praktek itu hanya bisa dihalalkan sejauh memenuhi syarat yang diatur dalam agama seperti ada proses ijab kabul, pemberian mahar, diperwalikan, dan memiliki saksi. "Proses nikah siri ini tidak untuk menyembunyikan pernikahan," katanya.

            Dalam kasus nikah siri online, kata Asrorun, MUI menduga layanan itu sudah menjurus praktek komersialisasi. Para pengguna layanan, menurutnya, meniatkan pernikahan mereka semata untuk pelampiasan hasrat seksual sesaat. "Kalau pernikahan itu bersifat sementara, ini jelas haram," katanya.

            Asrorun menjelaskan, lembaga pernikahan merupakan pranata yang memiliki dimensi ilahiah. Tujuannya tak lain untuk membangun rumah tangga yang penuh keberkahan. "Maknanya jangan diredusir untuk mengesahkan hubungan seksual saja. Ada derajat yang lebih tinggi dari itu," katanya.

            Meski demikian, kata Asrorun, MUI belum sampai pada keputusan mengharamkan praktek tersebut. Sikap itu baru bisa disampaikan setelah MUI menggelar pleno pekan ini. Kalau tak ada kata putus, kasus itu bisa diangkat dalam rapat akbar MUI yang bakal digelar pertengahan Juli 2015.

            Asrorun menambahkan, materi yang bakal dikaji berkaitan dengan prosesi akad nikah yang tidak melibatkan dua mempelai. MUI juga akan mengkaji keabsahan proses pernikahan lewat sarana komunikasi seperti ponsel dan program Skype. "Cara seperti itu tentunya diragukan keabsahannya," ujarnya.
Salah satu gadis pelaku pernikahan gaya baru berinisial MG mengungkapkan jika nikah siri dilakukan sebagai solusi menghindari perzinaan yang dilarang agama.“Memang banyak teman-teman perempuan malam yang melakukan nikah siri secara online, atau nikah siri biasa. Kan lebih aman, tidak tergolong zina jika mau nikah siri,” ujar MG, wanita 21 tahun.
MG yang bekerja di tempat karaoke di Malang itu menikahi seorang pria secara online yang menjadi langganan di tempat dia bekerja.“Tetapi, nikah siri itu dilakukan jika sudah kenal lama, layaknya suami istri. Pria yang sudah sering memberikan uang untuk belanja. Kalau baru kenal, tidak mau juga,” ucapnya.
MG menceritakan awal mula dia kenal, lalu berlanjut berkomunikasi sampai diajak menikah siri oleh pria tersebut. “Setelah lama kenal, saya diajak oleh pria itu untuk nikah siri biar bisa berhubungan layaknya suami istri karena si pria itu sudah punya istri. Begitu juga si perempuan, termasuk aku,” katanya.
Mereka menikah menggunakan jasa penghulu yang bersedia menikahkan MG dan pasangannya secara online melalui Skype.“Penghulunya sudah yang dikenal dan mengenal kita. Kita tidak harus datang, tetapi bisa melalui telepon, atau melalui Skype antara kedua mempelai dan penghulu. Ada saksi kok. Tetapi, walinya menggunakan penghulu,” katanya.
MG mengatakan alasan lain bersedia dinikahi siri, selain menghindari zina, dia juga mendapatkan jatah uang belanja bulanan.“Ya, layaknya suami istri. Tetapi ada kebebasan, saya bisa melayani pria lain saat di tempat kerja. Tetapi, tidak sampai berhubungan intim layaknya suami istri. Boleh berhubungan hanya pada pria yang menikahi aku secara siri itu,” katanya.
Rupanya pernikahan siri model baru ini juga dilakukan oleh beberapa wanita lain selain MG. “Banyak kok teman-teman aku di Malang yang nikah siri seperti aku,” ujarnya. Selain MG, wanita lain berinisial RS yang bekerja di tempat karaoke ternama di kawasan Jalan Soekarno-Hatta, Kota Malang menuturkan dia baru 5 bulan menikah siri dengan seorang pengusaha di Malang.“Karena dia yang mengajak nikah siri, dan dilakukan secara online. Aku rutin diberi nafkah. Hingga kini tak ada masalah. Halal saya berhubungan suami istri dengan dia,” katanya.
Pengakuan Pria Pelaku Nikah Siri Online Sudut pandang yang tidak jauh berbeda juga diungkapkan oleh pria 41 tahun berinisial AP yang mengaku menikah siri untuk menghindari zina.“Aku melakukan itu untuk menghindari zina. Mau nikah lagi secara resmi, jelas tidak akan diperbolehkan oleh istri,” katanya, sembari tersenyum lebar.
AP yang merupakan ayah satu anak itu mengaku sudah 1 tahun belakangan menikah siri dengan seorang wanita yang dia kenal di tempat karaoke langganannya.“Tetapi, saya tak akan memberitahukan siapa penghulunya. Yang jelas dia orang pintar soal agama,” katanya singkat.
Sebelumnya, terkait pernikahan siri, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mewanti-wanti masyarakat yang melakukan pernikahan di luar ketentuan negara, seperti menikah siri, akan menghadapi resiko sejumlah permasalahan yang akan ditanggungnya kelak.“Jadi, kalau terjadi apa-apa, konsekuensi dari pelaksanaan hak-hak dan pelaksanaan kewajiban itu kemudian tidak bisa diketahui, padahal ini peristiwa sakral,” katanya. Demikian dilansir dari laporan khususKompas, Minggu (15/3).

TANGGAPAN

Nikah siri belum dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apalagi nikah siri yang dilakukan secara online, maka hal tersebut akan merugikan para perempuan yang menjalankan nikah tersebut. pernikahan secara siri tidak dicatat oleh negara dan berbeda dengan nikah yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama (KUA).
Pasangan yang melakukan nikah siri mendapatkan seorang anak maka tidak bisa dicatatkan di catatan sipil karena pernikahan siri tidak dicatat negara.

"Kalaupun pasangan nikah siri bercerai dan memperebutkan harta dari pernikahan maka negara tidak bisa bersikap. Karena (pernikahannya) tidak tercatat," nikah siri online itu masuk sebagai kategori pidana yakni melakukan penipuan.

1 komentar: