BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia merupakan mahluk sosial, tidak dapat bertahan
apabila tidak ada bantuan dari orang lain. Maka dari itulah setiap manusia
harus saling membantu atau bahu-membahu terutama di sini dengan jalan
mengadakan perjanjian atau kontrak terhadap pihak yang bersangkutan. Akibat
dari hal demikian maka timbullah perikatan yang mana ada kewajiban yang harus
dipenuhi dan hal yagn harus dituntut.
Dalam islam, istilah ini sering disebut akad, mencakup
perikatan maupun perjanjian. Islam juga mewajibkan orang yang terlibat dalam
akad untuk memenuhi kewajiban terhadap orang lain. Misalnya saja dalam hutang,
apabila orang yang berhutang tersebut meninggal dunia sedangkan ia belum
membayar lunas, maka harus ditanggung oleh ahli waris. Dari gambaran tersebut
betapa tegasnya Islam dalam perikatan atau akad. Kemudian apakah perikatan
dalam Islam dengan akad pada umumnya selalu sama akan dijelaskan di sini.
Semoga makalah ini akan membantu dalam memahami perikatan dalam Islam meskipun
penjelasan di sini hanya bersifat mendasar dan pengantar saja.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa yang dimaksud perikatan dalam
islam ?
2. Apa tujuan, unsur, syarat, jenis
perikatan dalam islam ?
3. Kapan berawal dan berakhirnya
perikatan dalam islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
perikatan dalam islam
Periktan dalam bahasa Arab terdapat
dua istilah, pertama kata ‘aqada artinya menyimpulkan, (
lihat Q.S. Al Maiah (5): 1, dalam kamus Al Munawir, Bahsa Arab Indonesia aqad adalah
mengikat, dapat juga disebut ‘uquud artinya perjanjian (yang
tercatat) kontrak. Kedua ‘ahdu (lihat Q.S. Ali Imran (3) :
76, yatiu berjanji.
Dari
segi bahasa aqad adalah ikatan, mengikat. Ikatan artinya menghimpun atau
mengumpulkan dua ujung tali.
Fathurrahman
Djamil menyamakan kata al ‘aqdu dengan istilah verbintenisdalam
KUH Perdata. Sedaangkan Istilah al ‘ahdu disamakan dengan
perjanjian atauovereenkomst, yaitu pernyataan dari seorang untuk
mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tiidak berkaitan dengan orang
lain.
Oleh Quraish Shihab kata ‘uquud diberikata
pengertian mengikat sesuatu dengan sesuatu sehingga tidak menjadi bagiannya dan
tidak terpisah dengannya.
Dalam
Kompilasi hukum Ekonomi Syariah kata aqad diberi perngerttian adalah
kesepakatan dalalm suatu perjanjinan antara dua pihak atau lebih untuk
melakukan atau tiidak melakukan perbuatan hukum tertentu.
Jadi
hukum perikatan Islam adalah seperangkat kaidah hukum Islam yang mengatur tentang
hubungnan antara dua pihak atau lebih mengenai suatu benda atau barang yang
menjadi halal dari suatu objek transaksi.
Menurut para ahli hukum Islam
(fuqaha) aqad adalah pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh
syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.
Dengan
demikian kaidah-kaidah hukum yang berhubngan langsung dengan hukum
perikatan Islam adalah bersumber dari Alqur’an dan Sunnah Rasulullah
(syariah) dan hasil pemikiran manusia (ijtiha) sebagai implemenatasi
dari syariah yaitu fikih. Ini berarti hukum perikatan Islam di
satu sisi bersifat hubungan perdata dan di satu sisi yang lain
sebagai kepatuhan menjalankan ajaran agama Islam (syari’at Islam). hukum
perikatan Islam bersifat religiu transendental yang melekat pada
kaidah-kaidah yang melingkupi hukum perikatan Islalm itu sendiri
sebagai pencerminan dari otoritas Allah
Dengan
demikian subtansi hukum perikatan Islam materinya lebih luas dari
hukum perdata Barat. Hal ini dapat dilihat dari keterkaitan hukum perikatan itu
sendiri dengan hukum Islam , tiak hanya mengataru hubungan manusia
dengan manusia (horisontal) tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan Allah
(vertikal).
Menurut Abdoerraeof terjadi suatu perikatan (al aqdu)
melalui tiga tahap, yaitu:
1. Al ’Ahdu (perjanjian) = pernyataan dari
seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan
tidak tersangkut paut dengan kemauan orang lain.
2. Pesetujuan = pernyataan setuju dari
piihak kedua untuk melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang
dinyatakan oleh pihak pertama. Persetujuan itu harus sesuai dengan janji pihak
pertama.
3. Apabila janji kedua
pihak dilaksanakan maka terjadilah ‘aqdu.
Contoh: Ahmad
menyatakan janji membeli sebuah rumah, kemudian Ali menyatakkakn menjuall
sebuah rumah, maka Ahmad dan Ali berada pada tahap al ‘ahdu. Apabila
tipe rumah dan harg rumah telah disepakati oleh kedua pihak maka terjadi
persetujuan. Jika kedua janji tersebut dilaksanakan maka terjadi
perikatan atau akdu di antara keduanya.
Menurut
Subekti perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, beerdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak
yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada
seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu
hal. Peristiwa perjanjian tersebut menimbulkan hubungan diantara aorang-orang
tersebut yang disebut dengan perikatan. Jadi hubungan antra perikatan dgn
perjanjian aadalah perjanjian menimbulkan perikatan. Lihat Pasal
1233 KUH Perdata, bahwa perjanjian merupakan sumber perikatan.
Perbedaan hukum perikatan
Islam dan hukum perikatan dalam KUH Perdata ada pada tahap perjanjian. Pada
hukum perikatan Islam, janji pihak pertama terpiah dari janji phak kedua (dua
tahap) baru kemudian lahir perikatan. Sedangkan dalam KUH Perdata perjanjian
antara pihak pertama dan pihak kedua adalah satu tahap, yang kemudian
melahirkan perikatan.
A. Gani
Abdullah berpandangan bahwa hukum perikatan Islam titik tolak adalah ikrar
(Ijab dan kabul) dalam tiap transaksi.
B. Tujuan Perikatan dalam Islam
Seseorang yang
melakukan perikatan atau akad, pasti mempunyai tujuan tertentu, seseorang tidak
dapat dipaksakan untuk melakukan akad, terutama dalam perjanjian. Kecuali dalam
perikatan alami, seperti hak bayi untuk dirawat dengan baik dan harta warisan,
atau paksaan hukum yang bersifat sepihak.
Tujuan
perikatan dalam Islam atau akad yang dimaksud di sini ialah maksud utama
disyari’atkannya akad. Artinya ada maksud tertentu namun harus sesuai ketentuan
syari’ah, agar tujuan tersebut dapat terwujud. Tujuan tersebut akan menjadi sah
apabila mempunyai akibat-akibat hukum yang dipelukan dengan syarat-syarat
sebagai berikut:
1. Tujuan akad
bukanlah merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan
ketika akad belum diadakan seperti perikatan alami, namun hendaknya tujuan itu
dilaksanakan di awal akad.
2. Tujuan
harus berlangsung hingga akhir akad.
3. Tujuan akad
harus dibenarkan syari’at Islam.
Berdasarkan
keterangan di atas, syarat dari tujuan perikatan dalam Islam atau akad harus
jelas dari awal hingga akhir akad serta berdasarkan ketentuan syari’at Islam. Suatu
tujuan erat kaitannya dengan aktivitas yang dilakukan, karena kegiatan pada
hakekatnya untuk mencapai tujuan tersebut. Contohnya dalam jual beli, tujuan
penjual untuk memindahkan hak milikanya kepada pembeli dan memperoleh uang dan
keuntungan.
C. Dasar
Hukum Perikatan dalam Islam
1. Al-Qur’an
﴾١﴿
ﺩﻮﻘﻌﻟﺎﺑ ﺍﻮﻓﻭﺃ ﺍﻮﻨﻣﺁ ﻦﻳﺬﻟﺍ ﺎﻬﻳﺃﺎﻳ
2. Hadis
ﻞﻤﻋ :ﻝﺎﻗ ؟ ﺐﻴﻃﺃ ﺐﺴﻜﻟﺍ ﻯﺃ . ﻢﻌﻠﺻ ﱯﻨﻟﺍ ﻥﺃ ﻊﻓﺍﺭ ﻦﺑ ﺔﻋﺎﻓﺭ ﻦﻋ
.ﺭﻭﱪﻣ ﻊﻴﺑ ﻞﻛﻭ ﻩﺪﻴﺑ ﻞﺟﺮﻟﺍ
.ﺭﻭﱪﻣ ﻊﻴﺑ ﻞﻛﻭ ﻩﺪﻴﺑ ﻞﺟﺮﻟﺍ
“Dari
Rifa’ah bin Rafi’ bahwasanya Nabi SAW, ditanya: Apakah pencaharian yang paling
baik? Jawabnya: pekerjaan seseorang dengan tangannya sediri dan tiap-tiap jual
beli yang mabrur”.[8]
3. Ijma’
Ulama
Dalam hukum akad, terjadi perbedaan pendapat dari beberpa
ulama mazhab. Salah satunya mazhab Hanbali bahwa akad bebas dilakukan selama
tidak ada hal-hal yang jelas dilarang agama. Sedangkan pada mazhab hanafi,
bahwa akad merupakan hal yang dilarang, kecuali apabila ada keadaan yang
membuatnya untu berakad kepada orang lain (Istihsan). Kemudian mazhab
lainnya seperti Syafi’i juga tidak membolehkan akad apabila objeknya belum
ada di hadapan pihak yang membutuhkan.
D. Unsur-unsur
Perikatan dalam Islam
Unsur-unsur
yang terdapat dalam perikatan sebagaimana dapa definisi aqad yaitu
pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan
akibat hukum terhadap objeknya.
Pada definisi terdapat tiga unsur yang terdapat dalam suatu
perikatan, yaitu :
1.
Hubungan Ijab dan Qabul
Ijab
adalah pernyataan kehendak oleh satu pihak (mujib) untuk melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu. Qabul adalam pernyataan menerima atau menyetujui
kehendak mujib tersebut pihak lainnya (qaabil). Unsur ijab dan qabul selalu ada
dalam suatu perikatan.
2.
Dibenarkan oleh syara’
Aqad yang
dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syara’ (Alqur’an dan Sunnah
Rasulullah). Demikian juga objek akad tidak boleh bertentangan dengan syara’
bila bertengangan maka akad itu tidak sah.
3.
Mempunyai akibat hukum terhadap
objeknya
Aqad
merupakan tindakan hukum (tasharruf), menimbulkan akibat hukum terhadap objek
hukum yang diperjanjikan.
Aqad
merupakan salah bentuk perbuatn hukum (Tasharruf) yang oleh Musthafa Al
Zarqa mendefiniskan dengan segala seuatu (perbuatan0 yang bersumber dari
kehendak seseorang dan syara’ menetapkan atasnya sejumlah akibat
hukum (hak dan kewajiban).
Menurut Musthafa Al Zarqa tasharruf memiliki dua bentuk,
yaitu
a. Tasharruf fi’li (perbuatan), = usaha yang dilakukan
manusia dari tnaga dan badannya.
b. Tashurruf qauli, (perkataan)
= usaha yang keluar dari lidah manuia. Tidak semua perkataan
manusia dimasukkan sebagai akad. Karena ada perkataan tidak termasuk
akad tetapi merupakan uatu perbuatan hukum. Tasharruf qauli terbagi
atas dua bentuk, yaitu tashurru qauli aqdi dan tasharruf
qauli gairu ‘aqdi.
c. Tasharuuf qauli aqdi = sesuatu yang
dibentuk dari dua ucapan dua pihak yang saling bertalian (Ijab dan qabul).
d. tasharruf qauli
gairu ‘aqdi = perkatan yang tidak bersifat akad atau
tidak ada Ijab dan qabul.
Tasharruf qauli
gairu ‘aqdi ada
dalam bentuk pernyataan dan dalam bentuk perwujudan.
1) Perkataan yang berntuk pernyataan =
pengadaan suatu hak atau mencabut uatu hak (Ijab saja).
2) Perkataan dalam bentuk perwujudan =
melakukan penuntutan hak atau dengaan perkataan menyebabkan adanya akibat
hukum.
E.
Syarat
Perikatan dalam Islam
Setelah di jelaskan rukun akad sebelumnya, akan
dijelaskan lanjutannya berupa syarat-syarat dari perikatan Islam atau akad,
yang mana akad akan terjadi apabila telah memenuhi syarat pada:
1.
Subjek Hukum (aqidain)
Menurut
Ash-Shiddicqy, bahwa kedua belah pihak yang berakad atau melakukan perjanjian
harus cakap (ahliyatul aqidaini). Baik itu perorangan maupun dengan
badan hukum atau institusi. Tidak akan sah akad apabila dilakukan oleh orang
gila , anak kecil yang belum mengetahui, dsb.
2.
Objek Hukum (mahallul aqad)
Objek akad atau
perikatan haruslah dapat diterima secara hukum, terutama hukum Islam. Kemudian
selain itu, objek akad terbagi beberapa persyaratan yang harus dipenuhi:
a.
Objek perikatan harus ada ketika
dilangsungkan atau tersedia untuk diakadkan dan akad akan berakhir apabila
objek tersebut telah diserahkan kepada yang berhak menerima. Islam tidak
membolehkan menjual objek yang belum waktunya, seperti menjual anak sapi yang
masih dalam kandungan atau menjual buah yang belum masak.
b.
Objek akad atau perikatan dalam Islam
harus dibenarkan syari’ah. Tidak dibenarkan objek perikatan yang haram, baik
zat maupun cara mendapatkannya. Inilah yang membedakan perikatan Islam dengan
perikatan umum.
c.
Objek akad atau perikatan dalam Islam
harus jelas dan dapat dikenali dari jenis, bentuk, ukuran, dan urgensi barang
tersebut.
d.
Objek dapat diserah terimakan pada saat
akad terjadi atau pada waktu yang telah disepakati sehingga tidak ada pihak
yang dirugikan dalam suatu transaksi.
F. Jenis Perikatan dalam Islam
Dilihat
dari kaitannya dengan objek perikatan, secara garis besar ada empat macam
perikatan:
1. Perikatan
Utang (al Iltizam bi ad Dain)
Kunci untuk memahami
memahami konsep utang dalam hukum Islam adalah bahwa utang dinyatakan sebagai
suatu yang terletak dalam dzimmah (tanggungan) sesorang. Sumber-sumber
perikatan utang (al Iltizam bi ad Dain) dalam hukum Islam adalah
sebagai berikut: yang pertama adalah akad, yang kedua adalah kehendak sepihak
seperti wasiat, hibah, nazar yang objeknya adalah sejumlah uang atau benda, dan
yang ketiga adalah perbuatan melawan hukum yaitu semua bentuk
tanggungan (adh dhaman) yang timbul dari selain akad, seperti
pencurian, perusakan yang objeknya adalah barang. Sumber yang keempat adalah
pembayaran tanpa sebab, yang kelima adalah syara’ yaitu ketentuan syariah yang
menetapkan kewajiban-kewajiban untuk melakukan pembayaran tertentu pada
seseorang.
2. Perikatan
Benda (al Iltizam bi al ‘Ain)
Perikatan benda merupakan suatu
hubungan hukum yang objeknya adalah benda tertentu untuk dipindahmilikkan baik
bendanya, manfaatnya atau untuk diserahkan atau dititipkan kepada orang lain.
Sumber-sumber perikatan benda adalah akad dan ini merupakan sumber paling
penting dari perikatan benda, seperti jual beli atau sewa menyewa. Sumber
lainnya adalah kehendak sepihak seperti wasiat, dan perbuatan melawan hukum
juga dapat dijadikan sumber perikatan benda, seperti kasus gasab.
3. Perikatan
Kerja/ Melakukan Sesuatu (al Iltizam bi al ‘Amal)
Perikatan Kerja/ Melakukan
Sesuatu (al Iltizam bi al ‘Amal) adalah suatu hubungan hukum antara
dua pihak untuk melakukan sesuatu. Sumbernya adalah akad istisna’ dan ijarah.
Istisna’ adalah akad untuk melakukan sesuatu dimana bahan dan kerja
dilakukan oleh pihak kedua atau pembuat. Sedangkan ijarah merupakan suatu akad
atas beban yang objeknya adalah manfaat dan jasa. Akad ijarah ada dua yaitu ijarah
al manafi (sewa menyewa) dan ijarah al a’mal(perjanjian kerja).
4. Perikatan
Menjamin (al Itizam bi at Tautsiq)
Perikatan menjamin merupakan suatu bentuk perikatan yang objeknya adalah
menanggung (menjamin) suatu perikatan. Maksudnya pihak ketiga mengikatkan diri
untuk menanggung perikatan pihak kedua terhadap pihak pertama.
Perikatan
yang ditanggung ada tiga macam, yaitu perikatan utang, perikatan benda dan
orang yang ditanggung dalam akad al
kafalah bi an nafs
G. Berawalnya Perikatan dalam Islam
Apabila
dua orang atau pihak saling berjanji untuk melakukan atau memberikan sesuatu
berarti masing-masing orang atau pihak mengikatkan diri kepada orang lain untuk
melakukan atau memberikan sesuatu yang mereka perjanjikan, dengan demikian
timbul ikatan serta hak dan kewajiban diantara keduanya. “Perikatan
didefinisikan sebagai hubungan hukum menyangkut harta kekayaan antara dua pihak
berdasarkan mana salah satu pihak dapat menuntut kepada pihak lain untuk
memberikan, melakukan atau tidak melakukan sesuatu.”
Dalam
hukum Islam, perikatan disebut iltizam. Menurut istilah fiqh,
perikatan (iltizam) ini didefinisikan sebagai: “Suatu tindakan yang meliputi:
pemunculan, pemindahan, dan pelaksanaan hak.” Definisi perikatan ini sejalan
dengan pengertian akad (perjanjian) dalam arti umumnya selain juga tercakup
kedalamnya pengerian tasaruf dan kehendak pribadi. Perikatan dapat
muncul dari perseorangan (seperti wakaf, wasiat, dll.), maupun dari dua belah
pihak (sepert jual-beli, ijarah, dll).
Menurut
Mustafa Ahmad al-Zarqa, perikatan dalam perspektif UU Islam (qanun)
didefinisikan sebagai: “Keadaan tertentu seseorang yang ditetapkan syari’ah
untuk dilakukan atau tidak dilakukan demi mewujudkan kemaslahatan pihak lain.”
Unsur-unsur pembentuk
perikatan dalam perspektif fiqhadalah:
1. Multazam
Iah yaitu orang yang berhak atas suatu prestasi.
2. Multazim, yaitu
orang yang berkewajiban memenuhi suatu prestasi.
3. Mahal
al-iltizam, atau obyek perikatan
4. Perbuatan
yang dituntut untuk mewujudkan perikatan.
5. Iltizam atau
perikatan itu sendiri.
Sesuatu
atau peristiwa yang menimbulkan terjadinya perikatan disebut sebagi sumber
perikatan (masdar al-iltizam). Sumber-sumber perikatan tersebut dalam
hukum Islam adalah: akad, kehendak pribadi, perbuatan melawan hukum, perbuatan
sesuai hukum, dan syari’ah. Macam-macam sumber perikatan tersebut pada
hakikatnya dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu: akad, Undang-undang
(qanun), dan kehendak perorangan.
H.
Berakhirnya
Perikatan dalam Islam
Akad atau
perikatan dalam Islam dapat berakhir karena umumnya dua hal, menurut Basyir,
bahwa dual hal tersebut adalah telah tercapainya tujuan akad danfasakh atau
waktunya berakhir. Fasakh tersebut berakhir karena sebab-sebab
berikut:
1. Difasakh, karena adanya
hal-hal yang dilarang syara’, misalnya objek akadnya diketahui dari hasil yang
tidak halal atau jual beli barang yang tidak memenuhi syarat kejelasan barang
tersebut (gharar).
2. Karena pembeli
memilih untuk membatalkan jual beli karena sebab-sebab tertentu dalam khiyar,
seperti ditemukan ada yang tidak sesuai pada barang yang ia beli seperti adanya
kecacatan.
3. Karena salah
satu pihak membatalkan akad dengan catatan ada persetujuan lain. Cara fasakh ini
disebut iqalah.
4. Karena
kewajiban yang ditimbulkan oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihak-pihak
yang bersangkutan. Misalnya karena overmact, yaitu keadaan yang
membuat debitur tidak mampu memenuhi kewajiban dikarenakan faktor-faktor
eksternal. Apabila pihak yang seharusnya memenuhi kewajiban dengan sengaja
tidak melakukannya, maka dapat dilaporkan ke badan hukum litigasi (peradilan)
atau/dan non litigasi (arbitrase) terutama yang telah distandarisasi syari’ah.
5. Karena habis
jangka waktunya, seperti dalam akad sewa manyewa dalam jangka waktu tertentu
dengan catatan harus dikembalikan secara utuh apabila dalam penyewaan barang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa perikatan dalam Islam adalah
suatu hukum yang mengikat seseorang dengan orang lain dalam suatu perjanjian
yang diatur secara syari’at Islam.
Unsur-unsur perikatan dalam Islam sama dengan rukun akad
yang disepakati jumhur, yaitu pelaku akad, objek akad, dan ijab-qabul.
Syarat-syaratnya pelaku akad harus cakap, objeknya jelas, halal, tersedia, dan
dapat diserah terimakan. Asas-asanya yaitu asas ketuhanan, keadilan, kebolehan,
kerelaan, tertulis, dsb.
Perbedaan perikatan dalam Islam dengan perikatan pada
umumnya itu terlihat dari bagaimana perspektif Islam terhadap hukum perikatan
itu. Misalnya Islam melarang riba dalam hutang-piutang, yaitu meminta bunga
dari pengembalian pinjaman uang.
Apabila terjadi perselisihan atau persengketaan,
selesaikan di dua badan hukum, pertama pada Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) terlebih dahulu, kemudian ke Peradilan Agama apabila tak dapat
diselesaikan di BASYARNAS tersebut.
B. Saran
1. Kepada mahasiswa
(i) agar dapat memahami dan melakukan penyelidikan lebih lanjut mengenai
permasalahan yang disampaikan dalam makalah ini agar menambah dan memperluas
wawasan pengetaguannya.
2. Kepada setiap
mahasiswa (i) yang membaca makalah ini agar dapat memberikan masukan,
tanggapan, dan komentar yang positif dan membangun agar pengembangan makalah
ini lebih sempurna.
3. Kepada dosen yang
bersangkuta agar memberikan penjelasan yang jelas, mendetil dan komprehensif
agar mahasiwa (i) khususnya pada program studi Ilmu hukum di Universitas Muslim Indonesia agar dapat memahami
tentang bagaimana hukum perikatan itu, khususnya perikatan dalam Islam.
KASUS
NIKAH SIRIH ONLINE
Sekretaris Komisi Fatwa Majelis
Ulama Indonesia Asrorun Ni'an Sholeh mensinyalir praktek prostitusi terselubung di balik fenomena
pernikahan siri lewat online.
"Kuat dugaan, layanan itu menawarkan praktek prostitusi berkedok
pernikahan," ujarnya Rabu, 18 Maret 2015.
Layanan nikah siri online marak diperbincangkan dalam beberapa pekan terakhir. Sejumlah situs diketahui menawarkan jasa itu dengan tarif jutaan rupiah. Para pemohon cukup berhubungan lewat sarana komunikasi seperti Skype dengan penyedia layanan yang berperan sebagai wali dan saksi nikah
Menurut Asrorun, pada prinsipnya MUI menghalalkan nikah siri. Namun praktek itu hanya bisa dihalalkan sejauh memenuhi syarat yang diatur dalam agama seperti ada proses ijab kabul, pemberian mahar, diperwalikan, dan memiliki saksi. "Proses nikah siri ini tidak untuk menyembunyikan pernikahan," katanya.
Dalam kasus nikah siri online, kata Asrorun, MUI menduga layanan itu sudah menjurus praktek komersialisasi. Para pengguna layanan, menurutnya, meniatkan pernikahan mereka semata untuk pelampiasan hasrat seksual sesaat. "Kalau pernikahan itu bersifat sementara, ini jelas haram," katanya.
Asrorun menjelaskan, lembaga pernikahan merupakan pranata yang memiliki dimensi ilahiah. Tujuannya tak lain untuk membangun rumah tangga yang penuh keberkahan. "Maknanya jangan diredusir untuk mengesahkan hubungan seksual saja. Ada derajat yang lebih tinggi dari itu," katanya.
Meski demikian, kata Asrorun, MUI belum sampai pada keputusan mengharamkan praktek tersebut. Sikap itu baru bisa disampaikan setelah MUI menggelar pleno pekan ini. Kalau tak ada kata putus, kasus itu bisa diangkat dalam rapat akbar MUI yang bakal digelar pertengahan Juli 2015.
Asrorun menambahkan, materi yang bakal dikaji berkaitan dengan prosesi akad nikah yang tidak melibatkan dua mempelai. MUI juga akan mengkaji keabsahan proses pernikahan lewat sarana komunikasi seperti ponsel dan program Skype. "Cara seperti itu tentunya diragukan keabsahannya," ujarnya.
Layanan nikah siri online marak diperbincangkan dalam beberapa pekan terakhir. Sejumlah situs diketahui menawarkan jasa itu dengan tarif jutaan rupiah. Para pemohon cukup berhubungan lewat sarana komunikasi seperti Skype dengan penyedia layanan yang berperan sebagai wali dan saksi nikah
Menurut Asrorun, pada prinsipnya MUI menghalalkan nikah siri. Namun praktek itu hanya bisa dihalalkan sejauh memenuhi syarat yang diatur dalam agama seperti ada proses ijab kabul, pemberian mahar, diperwalikan, dan memiliki saksi. "Proses nikah siri ini tidak untuk menyembunyikan pernikahan," katanya.
Dalam kasus nikah siri online, kata Asrorun, MUI menduga layanan itu sudah menjurus praktek komersialisasi. Para pengguna layanan, menurutnya, meniatkan pernikahan mereka semata untuk pelampiasan hasrat seksual sesaat. "Kalau pernikahan itu bersifat sementara, ini jelas haram," katanya.
Asrorun menjelaskan, lembaga pernikahan merupakan pranata yang memiliki dimensi ilahiah. Tujuannya tak lain untuk membangun rumah tangga yang penuh keberkahan. "Maknanya jangan diredusir untuk mengesahkan hubungan seksual saja. Ada derajat yang lebih tinggi dari itu," katanya.
Meski demikian, kata Asrorun, MUI belum sampai pada keputusan mengharamkan praktek tersebut. Sikap itu baru bisa disampaikan setelah MUI menggelar pleno pekan ini. Kalau tak ada kata putus, kasus itu bisa diangkat dalam rapat akbar MUI yang bakal digelar pertengahan Juli 2015.
Asrorun menambahkan, materi yang bakal dikaji berkaitan dengan prosesi akad nikah yang tidak melibatkan dua mempelai. MUI juga akan mengkaji keabsahan proses pernikahan lewat sarana komunikasi seperti ponsel dan program Skype. "Cara seperti itu tentunya diragukan keabsahannya," ujarnya.
Salah
satu gadis pelaku pernikahan gaya baru berinisial MG mengungkapkan jika nikah
siri dilakukan sebagai solusi menghindari perzinaan yang dilarang agama.“Memang
banyak teman-teman perempuan malam yang melakukan nikah siri secara online,
atau nikah siri biasa. Kan lebih aman, tidak tergolong zina jika mau nikah
siri,” ujar MG, wanita 21 tahun.
MG
yang bekerja di tempat karaoke di Malang itu menikahi seorang pria secara
online yang menjadi langganan di tempat dia bekerja.“Tetapi, nikah siri itu
dilakukan jika sudah kenal lama, layaknya suami istri. Pria yang sudah sering
memberikan uang untuk belanja. Kalau baru kenal, tidak mau juga,” ucapnya.
MG
menceritakan awal mula dia kenal, lalu berlanjut berkomunikasi sampai diajak
menikah siri oleh pria tersebut. “Setelah lama kenal, saya diajak oleh pria itu
untuk nikah siri biar bisa berhubungan layaknya suami istri karena si pria itu
sudah punya istri. Begitu juga si perempuan, termasuk aku,” katanya.
Mereka
menikah menggunakan jasa penghulu yang bersedia menikahkan MG dan pasangannya
secara online melalui Skype.“Penghulunya sudah yang dikenal dan mengenal kita.
Kita tidak harus datang, tetapi bisa melalui telepon, atau melalui Skype antara
kedua mempelai dan penghulu. Ada saksi kok. Tetapi, walinya menggunakan
penghulu,” katanya.
MG
mengatakan alasan lain bersedia dinikahi siri, selain menghindari zina, dia
juga mendapatkan jatah uang belanja bulanan.“Ya, layaknya suami istri. Tetapi
ada kebebasan, saya bisa melayani pria lain saat di tempat kerja. Tetapi, tidak
sampai berhubungan intim layaknya suami istri. Boleh berhubungan hanya pada
pria yang menikahi aku secara siri itu,” katanya.
Rupanya
pernikahan siri model baru ini juga dilakukan oleh beberapa wanita lain selain
MG. “Banyak kok teman-teman aku di Malang yang nikah siri seperti aku,”
ujarnya. Selain MG, wanita lain berinisial RS yang bekerja di tempat karaoke
ternama di kawasan Jalan Soekarno-Hatta, Kota Malang menuturkan dia baru 5
bulan menikah siri dengan seorang pengusaha di Malang.“Karena dia yang mengajak
nikah siri, dan dilakukan secara online. Aku rutin diberi nafkah. Hingga kini
tak ada masalah. Halal saya berhubungan suami istri dengan dia,” katanya.
Pengakuan
Pria Pelaku Nikah Siri Online Sudut pandang yang tidak jauh berbeda juga
diungkapkan oleh pria 41 tahun berinisial AP yang mengaku menikah siri untuk
menghindari zina.“Aku melakukan itu untuk menghindari zina. Mau nikah lagi
secara resmi, jelas tidak akan diperbolehkan oleh istri,” katanya, sembari
tersenyum lebar.
AP
yang merupakan ayah satu anak itu mengaku sudah 1 tahun belakangan menikah siri
dengan seorang wanita yang dia kenal di tempat karaoke langganannya.“Tetapi,
saya tak akan memberitahukan siapa penghulunya. Yang jelas dia orang pintar
soal agama,” katanya singkat.
Sebelumnya,
terkait pernikahan siri, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mewanti-wanti
masyarakat yang melakukan pernikahan di luar ketentuan negara, seperti menikah
siri, akan menghadapi resiko sejumlah permasalahan yang akan ditanggungnya
kelak.“Jadi, kalau terjadi apa-apa, konsekuensi dari pelaksanaan hak-hak dan
pelaksanaan kewajiban itu kemudian tidak bisa diketahui, padahal ini peristiwa
sakral,” katanya. Demikian dilansir dari laporan khususKompas, Minggu (15/3).
TANGGAPAN
Nikah
siri belum dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apalagi nikah siri yang
dilakukan secara online, maka hal tersebut akan merugikan para perempuan yang
menjalankan nikah tersebut. pernikahan secara siri tidak dicatat oleh negara
dan berbeda dengan nikah yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama (KUA).
Pasangan
yang melakukan nikah siri mendapatkan seorang anak maka tidak bisa dicatatkan
di catatan sipil karena pernikahan siri tidak dicatat negara.
"Kalaupun
pasangan nikah siri bercerai dan memperebutkan harta dari pernikahan maka
negara tidak bisa bersikap. Karena (pernikahannya) tidak tercatat," nikah
siri online itu masuk sebagai kategori pidana yakni melakukan penipuan.
terimakasih sudah berbagi, tetap semangat dalam menulis...
BalasHapusjangan lupa kunjungi Seminar Nasional MPR RI Problem Sistem Kepartaian dalam Sistem Pemerintahan di Indonesia