web stats

Rabu, 01 Juli 2015

Mahkamah Konstitusi

Ø  Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan untuk
1.      Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2.      Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3.       Memutus pembubaran partai politik, dan
4.       Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Ø  Adapun yang pihak yang menjadi Pemohon dalam Pengujian UU terhadap UUD adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a.       perorangan warga negara Indonesia;
b.      kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c.       badan hukum publik atau privat; atau
d.      lembaga Negara
Hal ini diatur dalam Pasal 51 UU MK
Ø  Sedangkan dalam perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara pihak yang menjadi Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.(Pasal 61 UUMK)
Ø  Adapun dalam Pembubaran Partai Politik yang menjadi Pemohon adalah Pemerintah (Pasal 68)
Ø  Yang menjadi Pemohon dalam memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum adalah: a. perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum; b. pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan c. partai politik peserta pemilihan umum. ( Pasal 74).
v  Pengujian undang-undang dalam arti materiil ialah pengujian atas materi muatan undang-undang. Dalam konteks pengujian materiil ini menitikberatkan wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya telah sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dalam hirarki peraturan perundang-undangan.
v  Pengujian undang-undang dalam arti formil ialah pengujian atas pembentukan undang-undang. Dalam konteks pengujian formil ini menitikberatkan wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif telah sesuai dengan naskah akademik yang berlandaskan faktor filosofis, yuridis dan sosiologis.
  Alat pengukur konstitusionalitas
o   naskah UUD yang resmi tertulis
o   Dokumen-dokumen tertulis yang terkait erat dengan naskah-naskahUUD itu, seperti risalah-risalah, keputusan dan ketetapan MPR, UU tertentu, peraturan tata tertib dll
o   Nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam praktek ketatanegaran yang telah dianggap sebagaobagian yang tidak terpisahkan dari keharusan dan kebiasaan Dalam penyeleanggaraan kegiatan bernegara
o   Nilai-nilai yang hidup dalam kesadaran kognitif rakyat serta kenyataan perilaku politik dan hukum warga negara yang dianggap sebagai kebiasaan dan keharusan-keharusan yang ideal dalamperikehidupan berbangsa dan bernegara
  Adapun Hal-hal yang harus diperhatikan ketika melakuan uji materiil undang-undang terhadap UUD 1945 yaitu:
a.       Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya;
b.      Dalam permohonan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa:
-       pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD; dan/atau
-       materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD.
ƒ  Yang dibebankan pembuktian yaitu pemohon
Dengan alat bukti Aslat bukti itu meliputi; suarat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan para pihak, petunjuk, alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
  Lembaga Negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon
a.       Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
b.      Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
c.       Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
d.      Presiden;
e.       Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
f.        Pemerintahan Daerah (Pemda); atau
g.      Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
  putusan sela yaitu putusan yang  memerintahkan kepada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan itu sampai ada putusan akhir MK.
  Syarat permohonan dalam sengketa kewenangan
a.       Pemohon adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan yang diatur oleh UUD Tahun 1945
b.      Pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang kepentingannya, kewenangan yang dipersengketakan, lembaga negara yang menjadi Termohon (Ps. 61 (1) (2))
c.       Mahkamah Agung meskipun sebagai Lembaga Negara, tidak dapat menjadi pihak, baik sebagai Pemohon atau Termohon (Ps. 65)
d.      Dalam PMK tentang SKLN dimungkinkan dalam hal objek sengketanya bukan kewenangan judicial
  Pemohon dalam sengketa pemilu
a.       Perorangan WNI calon anggota DPD peserta Pemilu
b.      Pasangan calon Presiden/Wapres peserta Pemilu
c.       Presiden/Wapres
d.      Partai Politik peserta Pemilu (Ps. 74 (1))
Termohon yaitu Kpu
  Materi Permohonan harus diuraikan dengan jelas dan  rinci terkait dengan:
a.       Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh  KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut Pemohon
b.      Permintaan membatalkan hasil penghitungan suara  yang dilakukan oleh KPU
c.       Menetapkan hasil penghitungan suara yang benar  menurut pemohon
  Cara pengajuan permohonan terhadap perselisihan pemilu
1.      Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 (tigamkali dua puluh empat) jam sejak KPU mengumumkan penetapan hasil Pemilu secara nasional.
2.      Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Konstitusi dalam 12 (dua belas) rangkap setelah ditandatangani oleh:
a.       calon anggota DPD peserta Pemilu atau kuasanya;
b.      pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta Pemilu atau kuasanya; atau
c.       Ketua umum dan sekretaris jenderal atau sebutan yang sejenisnya dari pengurus pusat atau sebutan yang sejenisnya dari pengurus pusat partai politik atau kuasanya.
3.      Permohonan yang diajukan calon anggota DPD dapat dilakukan melalui faksimili atau e-mail dengan ketentuan permohonan asli sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sudah harus diterima oleh Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu 3 (tiga) hari terhitung sejak habisnya tenggat.
4.      Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat :
a.       Identitas pemohonyang dilampiri dengan alat-alat bukti yang sah, antara lain: foto kopi KTP, terdaftar sebagai pemilih, terdaftar sebagai peserta Pemilu;
b.      uraian yang jelas tentang:
1.      kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon;
2.      permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
  Amar putusan Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan:
a.       permohonan tidak dapat diterima apabila Pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat;
b.      permohonan dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan selanjutnya membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU serta menetapkan hasil penghitungan suara yang benar;
c.       Permohonan ditolak apabila permohonan tidak terbukti beralasan.
ƒ  Saksi dalam perselisihan pilkada yaitu saksi resmi peserta Pemilukada; dan saksi pemantau Pemilukada.
  Kekuatan putusan MK
1.      Mengikat bahwa …….
2.      Pembuktian bahwa Sebuah putusan pengadilan, khususnya putusan MK memiliki kekuatan pembuktian. Dalam Pasal 60 UU MK menyatakan setiap muatan ayat, pasal dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan untuk diuji kembali. Dengan demikian putusan MK tersebut merupakan sebagai lat bukti yang dapat digunakan bahwa telah diperoleh kekuatan hukum yang pasti.
3.      Eksekutorial yaitu Putusan MK dimaksudkan sebagai perbuatan hukum pejabat negara untuk mengakhiri sengketa yang akan menidakan atau menciptakan hukum. Sehingga diharapkan putusan MK tak hanya untaian kata yang tertulis di atas kertas. Kekuatan eksekutorial putusan MK adalah ketika putusan itu diumumkan.
v  MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a.       menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.      memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c.       memutus pembubaran partai politik;
d.      memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”


Selasa, 09 Juni 2015

Hukum Perlindungan Konsumen


1)      Pengertian Hukum perlindungan konsumen
a.       Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
b.      Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
c.       berbagai bidang ekonomi.Menurut Mochtar Kusumaatmaja hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen.
d.      Sedangkan menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.

2)      Tujuan perlindungan konsumen
a.       Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b.      Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan / atau jasa;
c.     
-  Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d.     - Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e.     -  Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f.     -  Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang, menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

3)      Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen
1.      Let The Buyer Beware
Ø  Pelaku Usaha kedudukannya seimbang dengan konsumen sehingga tidak perlu proteksi.
Ø  Konsumen diminta untuk berhati hati dan bertanggung jawab sendiri.
Ø  Konsumen tidak mendapatkan akses informasi karena pelaku usaha tidak terbuka.
Ø  Dalam UUPK Caveat Emptor berubah menjadi caveat venditor.
2.      The due Care Theory
Ø  Pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa. Selama berhati hati ia tidak dapat dipersalahkan.
Ø  Pasal 1865 Kuhperdata secara tegas menyatakan, barangsiapa yang mengendalikan mempunyai suatu hak atau untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peristirwa, maka ia diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristirwa tersebut.
Ø   Kelemahan beban berat konsumen dalam membuktikan.
3.      The Privity of Contract
Ø  Prinsip ini menyatakan, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal hal diluar yang diperjanjikan.
Ø   Fenomena kontrak kontrak standar yang bantak beredar di masyarakat merupakan petunjuk yang jelas betapa tidak berdayanya konsumen menghadapi dominasi pelaku usaha.
4.      Kontrak bukan Syarat
Prinsip ini tidak mungkin lagi dipertahankan, jadi kontrak bukan lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu huungan hukum .

4)      Asas-asas hukum perlindungan Konsumen
       1.      Asas manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingankonsumen dan pelau usaha secara keseluruhan.
2.      Asas keadilan
     Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3.      Asas keseimbangan
    Asas ini dimaksudkan untuk  memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun spiritual.
4.      Asas keamanan dan keselamatan konsumen
     Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5.      Asas kepastian hukum
         Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.




5)      Hak dan Kewajiban Konsumen
Adapun sesuai  Hak konsumen sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999  Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Hak-hak Konsumen adalah :
a.       Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.      Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.       Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.      Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e.       Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.       Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.       Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.      Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.        Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
a.    Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b.    Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c.    Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d.    Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.


6)      Hak dan kewajiban Produsen
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
a.       Hak menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
b.      Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
c.       Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
d.      Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
e.        Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban pelaku usaha dalam pasal 7 UUPK
a.       Beritikad baik dalam kegiatan usahanya
b.      Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan, penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan
c.        Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
d.      Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu dan/atau jasa yang berlaku
e.       Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan
f.        Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
g.       Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian bila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

7)      Tanggung Jawab produsen terhadap konsumen
Pasal 19 UUPK
a.    Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
b.    Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c.    Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
d.    Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

8)      Sengketa konsumen
sengketa konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menutut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang atau memanfaatkan jasad.
Melalui pasal 45 ayat (1) ini dapat diketahui bahwa untuk menyelesaikan sengketa konsumen , terdapat dua pilihan yaitu :
Ø  Melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha,   atau
Ø  Melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
 Alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara berikut
Ø  Konsultasi
Ø   Negosiasi
Ø  Mediasi
Ø  Konsialisasi
Ø  Penilaian ahli


9)      Klausula Baku
Menurut Pasal 18 Ayat (1) menyebutkan mengenai klausula-klausula yang dilarang dicantumkan dalam suatu perjanjian baku yaitu:
a.       menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.      menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c.       menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d.      menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e.       mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
f.       menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
g.       menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Sesuai dengan Pasal 18 ayat (2) disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Pencantuman klausula baku tersebut dapat berupa tulisan kecil-kecil yang diletakkan secara samar atau letaknya ditempat yang telah diperkirakan akan terlewatkan oleh pembaca dokumen perjanjian tersebut, sehingga saat kesepakatan tersebut terjadi konsumen hanya memahami sebagian kecil dari perjanjian tersebut. Artinya perjanjian tersebut hanya dibaca sekilas, tanpa dipahami secara mendalam konsekuensi yuridisnya, yang membuat konsumen sering tidak tahu apa yang menjadi haknya.
Cirri-ciri perjanjian baku
·         isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat;
·         Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi    perjanjian;
·         Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu;
·         Bentuk tertentu (tertulis)
·          Dipersiapkan secara massal dan kolektif.