BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Manusia sudah mencoba memahami asal – usul penyakit dan cara
mengobatinya sejak 5000 SM. Ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran
berkembang dengan pesat pada saat ini. Salah satunya adalah kemajuan dalam
teknik transplantasi organ. Pengaturan tentang transplantasi organ dalam Undang
– Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 64 dan Pasal 65 serta
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah
Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia.
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 ayat ( 1 ) butir ( e ) menentukan
bahwa “Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pembedahan alat
dan atau
jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh sendiri atau tubuh
orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan
tubuh yang tidak berfungsi dengan baik”. Sejak kesuksesan transplantasi yang
pertama kali berupa ginjal dari donor kepada pasien gagal ginjal pada tahun
1954, perkembangan di bidang transplantasi maju dengan pesat. Kemajuan ilmu dan
teknologi memungkinkan pengawetan organ, penemuan obat- obatan anti penolakan
yang semakin baik sehingga berbagai organ dan jaringan dapat
ditransplantasikan. Hal tersebut yang mendorong perkembangan ilmu kedokteran saat
ini terutama dalam bidang transplantasi organ sehingga mengarah pada sarana
penjualan organ dan atau jaringan tubuh tersebut di Indonesia.
Tingginya harga organ tubuh manusia tersebut juga menjadi pendorong
terjadinya tindak pidana penjualan organ. Data yang dipublikasikan The China
International Transplantation Network Assistance Center, Shenyang, Cina,
mengungkapkan bahwa harga sebuah ginjal mencapai US$ 62.000, sedangkan jurnal
kesehatan The Lancet menyebutkan, harga ginjal di pasaran mencapai US$
15.000. Sepotong hati manusia dihargai US$ 130.000, sama dengan harga sebuah
jantung, sedangkan harga paru-paru bisa mencapai US$ 150.000. Tinggi rendahnya
harga organ tubuh manusia berjalan seirama dengan mekanisme pasar, semakin
besar permintaan, semakin besar juga harga organ tersebut. Jutaan orang
diperkirakan mengambil antrian untuk mendapatkan transplantasi organ tubuh,
seperti jantung, ginjal, dan hati. Di Indonesia diperkirakan ada 70.000
penderita gagal ginjal kronis yang membutuhkan cangkok ginjal, di Jepang
terdapat 11.000 penderita gagal ginjal, di Brazil terdapat 66.000 penderita
gagal ginjal, mereka semua membutuhkan cangkok ginjal. Jumlah pasien itu tak
sebanding dengan jumlah donor yang merelakan organnya dipakai orang lain
setelah sang donor meninggal.
Penduduk yang paling banyak bersedia menjadi donor ada di negara-negara Eropa,
yang rata-rata 12% penduduknya memiliki kartu donor.
Timpangnya jumlah permintaan organ tubuh dibandingkan dengan jumlah
pasien inilah yang kemudian menyuburkan praktek ilegal jual beli organ tubuh.
Modus jual beli organ tubuh manusia ini sangat beragam, ada yang menjual organ
tubuh karena terdesak kebutuhan ekonomi, ada pula yang dilakukan dengan cara
menipu sang donor, ada yang melalui dokter – dokter bedah sebagai perantara
penjualan organ, ada kasus pembunuhan dengan tujuan mengambil organ tubuh
korban kemudian dijual, adanya motif pencurian organ tubuh lewat adopsi, ada
juga yang lewat jalur perdagangan manusia dengan membujuk anak-anak untuk
bekerja di luar negeri secara ilegal, padahal sudah masuk dalam sindikat
penjualan organ tubuh. Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan pernah melansir dugaan
praktek jual-beli bayi untuk dimanfaatkan organ tubuhnya.Bayi-bayi itu dijual
Rp 3 juta – Rp 5 juta. Oleh pembeli, bayi-bayi tersebut dipelihara hingga
berusia tujuh tahun. Setelah beranjak remaja, kemudian mereka dibunuh dan
organnya dijual hingga ratusan juta rupiah. Dua warga negara Indonesia,
Sulaiman Damanik dan Toni, diadili di Singapura karena kedapatan menjual
belikan organ tubuh mereka.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana efektifitas ketentuan hukum
tentang tindak pidana jual beli organ dan atau jaringan tubuh?
2.
Apakah tindakan jual beli organ tubuh
manusia melalui transplantasi merupakan hak asasi dari manusia?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
·
Jual Beli
Jual menurut kamus besar
bahasa Indonesia adalah akad mengalihkan hak milik ( misal tanah ) dengan
perjanjian bahwa pemilik yang lama dapat membelinya kembali.
Beli menurut kamus besar bahasa Indonesia
adalah rancangan atau buram surat dan sebagainya, ide atau pengertian yang
diabstrakkan dari peristiwa konkret, lingkaran gambaran mental dari objek,
proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi
untuk memahami hal-hal lain.
Jual beli menurut kamus besar
bahasa Indonesia adalah persetujuan saling mengikat antara penjual, yakni pihak
yang menyerahkan barang, dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga barang
yang dijual.
·
Organ
Organ menurut kamus besar
bahasa Indonesia adalah alat yang mempunyai tugas tertentu di dalam tubuh
manusia ( binatang dan sebagainya ).
·
Jaringan Tubuh
Jaringan Tubuh menurut kamus
besar bahasa Indonesia adalah barang siratan yang serupa jaring; jala-jala:
susunan sel – sel khusus yang sama pd tubuh dan bersatu dl menjalankan fungsi
biologis tertentu.
Jaringan Tubuh menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 Pasal 1 butir ( d ) adalah kumpulan
sel – sel yang mmempunyai bentuk dan faal ( fungsi ) yang sama dan tertentu.
·
Transplantasi
Pasal 1 huruf (e) Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis
dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi dan atau Jaringan Tubuh Manusia
menyatakan bahwa : “Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk
pemindahan alat dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang
lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh
manusia yang tidak berfungsi dengan baik.”
2.
Ketentuan
hukum tentang tindak pidana jual beli organ dan atau jaringan tubuh
Jual
beli organ tubuh merupakan fakta hukum baru yang belum pernah dibahas para
fuqoha di masa lalu. Fakta ini telah banyak dibahas oleh para ulama
kontemporer, baik secara pribadi maupun badan (lajnah/ haiah ‘ulama).
Sebelum mereka membahas fatkta ini, terlebih dahulu mereka membahas hukum
tranplantasi organ tubuh (naqlul a’dho wa gharsuh). Karena hukum jual
beli organ tubuh erat kaitannya dengan hukum traplantasi itu sendiri.
Transplantasi
ini ditujukan untuk menggantikan organ yang rusak atau tak befungsi pada
penerima dengan organ lain yang masih berfungsi. Tarnplantasi sendiri bisa
dilakukan dari orang yang masih hidup atau orang yang baru saja meninggal yang
organ tubuhnya masih berfungsi. Dari sini, ada beberapa fakta hukum yang perlu
dibahas terkait dengan tranplatasi organ tubuh, yakni menyangkut: pendonor,
resipien, organ yang dipindahkan, serta bagaimana resipien mendapat organ tadi,
apakah dengan membeli atau donor. Terkait pendonor adakalanya ia memeberikan
organ tubuhnya kepada yang lain dikala sehat, sakit, atau setelah mati. Sementara
resipien adakalannya ia dalam kondisi sangat membutuhkan (dharurat), namun
adakalanya sekedar alternatif solusi dan belum mencapai tingkat darurat. Organ
yang di pindahkan pun, bisa berupa organ vital atau bukan. Caranya, bisa lewat
donor atau jual beli. Fakta-fakta inilah yang sekiranya perlu dikaji sebelum
kita mengkaji hukum jual beli organ. Sebab, hukum jual beli atau pun
donor organ tubuh sangat tergantung atas kebolehan tranplantasi itu sendiri.
Yakni, jika pemanfaatan organ tubuh itu diperbolehkan maka maka tasharup
terhadapnya pun diperbolehkan.
Ketentuan
hukum tentang tindak pidana jual beli organ dan atau jaringan tubuhsuatu
perjanjian yang dibuat dengan sebab atau causal yang tidak halal adalah
perjanjian tersebut sejak semula dianggap tidak pernah terjadi dan tidak perlu
ada putusan hakim untuk membatalkan perjanjian tersebut. Perjanjian ini
memiliki akibat bahwa para pihak tidak dapat saling menuntut dimuka hakim, tetapi
kenyataanya perjanjian ini tetap berlaku dan tetap terjadi di masyarakat, hal
ini disebabkan karena adanya beberapa faktor yaitu :
a. Masing-masing pihak saling membutuhkan dan saling
diuntungkan. Pihak penjual mendapatkan sejumlah uang yang ia butuhkan dari
hasil penjualan organ tubuhnya, dan pihak
pembeli mendapatkan organ tubuh yang ia butuhkanya.
b.
Terdapat kendala yang dihadapi oleh pemerintah dalam
menanggulangi maraknya praktek komersialisasi transplantasi organ tubuh melalui
jual beli, menyebabkan belum ada praktek jual beli yang sampai kepada pihak
yang berwajib.
c.
Karena desakan
kebutuhan ekonomi sehingga masyarakat nekad menjual organ tubuhnya meskipun
dilarang oleh peraturan perundang-undangan.
Praktek jual beli organ tubuh dalam pencegahan
dan penanggulangan diperlukan adanya peran aktif pemerintah karena jual beli
ini kerap terjadi dan mulai marak terjadi dimasyarakat. Upaya pemerintah dalam
menanggulangi praktek jual beli organ tubuh yaitu :
a. Pemberian penyuluhan oleh
pemerintah kepada masyarakat, khususnya kepada orang yang berencana akan
menjual organ tubuhnya, dengan cara akan memberi penyuluhan tentang akan adanya
sanksi pidana dan sanksi denda kepada masyarakat yang akan melakukan jual beli
organ tubuh.
b. Pemerintah berupaya
menanggulangi praktek jual beli organ tubuh dengan pemberian sanksi pidana dan
denda dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan tentang komersialisasi transplantasi
melalui jual beli.
Sebagian besar ulama
kontemporer membolehkan tranplantasi organ tubuh dari orang yang masih hidup
selama menimbulkan dhoror kepadanya (seperti dilakukan ketika sakit
atau dilakukan pada objek vital yang menimbulkan kematian). Namun demikian,
mereka berbeda pendapat dalam hal istidhlal (penetapan dan
penggalian dalil atas fakta yang dihukumi).
Perbedaan pendaapat
ini di dasarkan pada apakah manusia memiliki hak tasharruf atas
badannya ataukah tidak. Bagi ulama yang mengatakan bahwa badan adalah milik
Allah Swt (milkun lillah wa haqqun lah) dalam arti manusia tidak
memiliki hak tasharrof atasnya, maka kebolehan tranplantasi
didasaarkan pada alasan dharurah. Dharurah yang dimaksud adalah upaya
menghindari kematian atau rusaknya anggota tubuh yang mengakibatkan kematian
dengan syarat tidak menimbulkan dharar serupa bagi si pemberi. Contoh
tranfusi darah. Diantara nash yang dijadikan dalil bahwa badan manusia
adalah haqqullah adalah firman Allah swt
وَمَا خَلَقْتُ
الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. 51:56)
لَيْسَ عَلَى
الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ
“Tidak ada halangan bagi orang buta,
tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit” (QS. an-Nur:
61)
Ayat pertama
menyatakan bahwa tugas manusia di dunia adalah untuk beribadah kepada Allah
Swt. Sementara pelaksanaan ibadah beserta kesempurnaannya tentu berkaitan
dengan badan dan anggota tubuh orang yang mengerjakannya. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa ia merupakan hak Allah Swt. Ayat kedua lebih jelas
menunjukan adanya pengurangan beberapa taklif syar’iy akibat
ketidaksempurnaan atau hilangnya fungsi dari beberapa organ tubuh. Padahal taklif
syar’iyy tidak boleh dihilangkan kecuali oleh mukallif itu
sendiri, Dialah Allah Swt. Dengan demikian seseorang tidak punya hak atas organ
tubuhnya yang diciptakan oleh Allah Swt untuk beribadah kepadanya.
Sementara ulama yang
berpendapat bahwa badan manusia disamping merupakan hak dan milik Allah Swt (haqun
lillah wa milkun lah),, namun ia pun merupakan hak dan milik
manusia (haqun lil insan wa milkun lah), maka mereka berpendapat bahwa
kebolehan tranplantasi didasarkan pada haq intifa’ fil mulki (hak
pemanfaatan pada barang-barang yang dimiliki). Sementara dalil yang menyatakan
bahwa manusia memiliki hak tasharaf atas badannya adalah kebolehan
memaafkan dalam hal tindak kriminal terkait anggota tubuh,
baik berupa pelukaan, pemotongan, pencabut, dll, yang tidak menimbulkan
kematian (jinayah fima dunan nafs). Allah swt berfirman:
فَمَنْ عُفِيَ
لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ
بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ
Maka barangsiapa
yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) mambayar
(diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian
itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. (QS. 2:178)
memaafkan sang
pelaku tanpa mengambil diyat berati pemberian atas harta diyah itu sendiri (at-tabarru’
bi ad-diyah). Kebolehan at-tabarru’ bi ad-diyah menunjukan
kepemilikan atas diyah. Sementara kepemilikan atas diyat
menunjukan kepemilikan atas anggota tubuh yang dengan diyatnya itu seseorang
bisa bertabarru’ (Abdul Qadim Zalum, Hukmusy Syar’iy fi naqlil A’dho, hal, 11).
Dari paparan di
atas, nampak bahwa pendapat yang kedua lebih kuat dengan alasan, pertama:
penisbatan bahwa badan manusia merupakan hak Allah Swt tidak menapikan
keberadaan hak dan kepemilikan manusia atasnya. Pengakuan atas kedua hak ini
bisa kita lihat dalam hal kepemilikan harta. Allah Swt berfirman
وَآتُوهُم مِّن مَّالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُم (النور33)
“Dan berilah mereka dari
harta Allah Swt yang ia berikan kepadamu” (Qs. an-nur: 33)
Ayat ini jelas
menunjunkan bahwa harta adalah milik Allah Swt. Hanya saja Allah Swt memberikan
hak kepada manusia untuk menggunakan harta tersebut. hal ini bisa kita lihat
dalam beberapa ayat lain, dimana Allah Swt nyatakan dengan bentuk penisbatan
bahwa harta itu milik hambanya. Allah Swt berfirman:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ (البقرة:
262)
“ Perumpamaan (nafkah yang
dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah….”(QS.
al-baqarah: 262)
خُذْ مِنْ أَمْوالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِها
(التوبة: 103)
“Ambillah zakat dari sebagian
harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” (Qs. at-taubah: 103)
فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
(البقرة: 279)
“maka bagimu pokok hartamu; kamu
tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. 2:279)
Dari nash-nash di
atas kitabisa menyimpulkan bahwa ashlul milkiyah atas harta
adalah milik Allah Swt, dalam hal ini Ia nyatakan dengan lafadz “malullah” (harta
Allah). Namun ketika kepemilikan tersebut Allah Swt berikan kepada
manusia maka Ia nyatakan dengan lafadz “amawaluhum” (harta mereka)
atau “amwalukum” (harta kalian). Begitupun halnya kepemilikan manusia
atas badannya, hak tasharruf atas jasadnya tidak berarti menafikan hak
Allah Swt. Kedua: Dalil-dalil yang menunjukan bahwa manusia
diperintahkan untuk beribadah kepada Allah Swt juga tidak menafikan hak manusia
atas tasharruf terhadap badannya. Sebab, tasharruf dalam hal
ini tidaklah muthlak sebagaimana kita nyatakan di atas. Akan tetapi dibatasi
pada perkara-perkara yang tidak menyebabkan kemadharatan seperti meninggalkan
kewajiban kepada Allah Swt. Oleh kerena ishtidlal pendapat yang
pertama keluar dari kontek tasharruf yang diperbolehkan.
Adapun
transplantasi organ tubuh dari orang yang sudah mati, maka para ulama sepakat
bahwa hukum aslanya tidak boleh karena melanggar kehormatan mayat. Allah Swt
berfirman:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ
وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ
مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا (سورة الإسراء: 70)
Dan sesungguhnya telah Kami
muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri
mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. 17:70)
Selain itu, terdapat larangan
menyayat tubuh mayat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan
Imam Muslim dari sahabat Ibnu buraidah dah bapaknya, ia berkata:
“Adalah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa salam jika mengangkat seorang amir (komandan) atas suatu
pasukan atau sariyah, beliau memberinya wasiat secara khusus supaya bertaqwa
kepada Allah Ta’ala, dan memperlakukan pasukannya dengan baik. Beliau lantas
bersabda,” Berperanglah dengan menyebut nama Allah, di jalan Allah, perangilah
orang yang kafir kepada Allah ! Berperanglah, janganlah mencuri harta rampasan
perang sebelum dibagi, jangan membatalkan perjanjian secara sepihak, jangan
mencincang mayat musuh, dan jangan membunuh anak-anak” (HR. Muslim)
Hadis ini jelas
menunjukan larangan menyayat tubuh mayat. Padahal tranplantasi tidak mungkin
dilakukan kecuali dengan melakukan penyayatan. Disamping itu, Dalam riwayat
‘Aisyah. ra, Rasulullah Saw, melarang memecahkan tulang mayat seorang mukmin.
إن كسر عظم المؤمن ميتا مثل كسره حيًا (رواه أبو داود)
“Sungguh memecah
tulang seorang mukmin setelah ia mati, sama seperti memecahkannya pada saat
masih hidup” (HR. Abu Dawud)
Ini hukum asal
tranplantasi organ tubuh mayat. Namun, karena alasan darurat, ulama kontemporer
kemudian berbeda pendapat. Pertama: Pendapat yang
membolehkannya dengan syarat-syarat. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt:
Sesungguhnya Allah
hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang
ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. (QS. 2:173)
Mengapa kamu
tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika
menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa
yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan
sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang
lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah
yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas. (QS. al-an’am :119)
Kedua ayat di atas
menunjukan bahwa seorang yang kehabisan bekal atau tidak memiliki makanan,
dalam kondisi darurat dibolehkan memakan makana yang diharamkan seperti
bangkai. Begitupun tranplantasi organ tubuh mayat, ia menjadi dalam kondisi
darurat. Ini adalah pendapat Majma’ Fiqih Islami OKI (Makah, tahun
1969), Hai`ah Kibar Ulama (Saudi, tahun 1982), dan Lajnah Fatwa
Yordania (1985), Kuwait (1985), Mesir (1989), Al-Jazair (1972). Darurat
yang dimaksud adalah tranplantasi organ tubuh yang sangat dibutuhkan oleh
resipien, yang kalau tidak dilakukan diduga kuat menyebabkan kematian, seperti
jantung, ginjal, paru, dll. Adapun jika bersifat hajjiyah, tahsiniyyah
atau sekedar tajmiiliyyah, yakni pada organ-organ tubuh yang diduga
kuat tidak mengantarkan resipen pada kematian jika tidak dilakukan, maka
trnpalantasi hukumnya tetap haram. (Dr. Bakr Ibnu Abdillah Abu Zaid, at-Tasyrih
al-jutsmaniy wa an-Naql wa at-Ta’widh, hal. 40). Kebolehan tranplantasi
pada perkara dharuriyyah ini disyaratkan izin sang mayat sebelum ia
meninggal ataupun izin ahli waris.
Kedua: tetap tidak boleh walaupun dalam kondisi darurat. Ini adalah pendapat:
Syaikh Adam Abdullah Ali, DR. Abdus Salam as-Sukry, Syaikh Abdullah al-Gumariy,
Syaikh Muhammad Mutawally Asy-sya’rawiy, Syaik Muhammad Abdullah al-As’adiy,
Syaikh Abdul Qadim Zalum, Syaikh as-sinqitiyy (Ahkamut tasharauf bil jutsah
fil fiqhil Islamiy, hal: 153). Hanya saja Syaikh Abdul Qadim Zalum, Syaikh
as-sinqitiyy mengecualikan organ mayat orang kafir yang darahnya tidak maksum
(Abdul Qadim Zalum, Hukmusy Syar’iy fi naqlil A’dho, hal, 12). Pendapat
ini didasarkan pada dalil-dalil yang dikemukakan di awal terkait kewajiban
menjaga kehormatan mayat, larangaan menyayat, memecahkan tulang, dll. Pendapat
inilah yang lebih kuat denga alasan:
a.
Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya bahwa tranplantasi bisa dilakukan dalam organ yang tidak
terkait dengan penyelamatan nyawa resipien, maka hal ini disepakati tidak boleh
dilakukan, serta bisa pula dilakukan pada organ yang bisa menyelamatkan
nyawa resipien dan inilah yang menjadi objek perbedaan pendapat. Pendapat yang
kuat dalam hal ini tetap tidak boleh. Karena, Pertama: penyelamatan
resipien dengan tranplantasi ini bukanlah perkara yang pasti. Diamana oprasi
pencangkakan ini bisa berhasil, bisa pula tidak. Ini berbeda dengan fakta
penyelamatan kematian akibat memakan makanan yang haram bagi orang yang
kelaparan. Kedua: di antara syarat qiyas adalah terpenuhinya seluruh
syarat-syarat bagi rukun-rukunnya, yakni syarat-syarat pada: asal (al-maqis
‘alaih) hukum asal (al-hukmu), persoalan cabang yang hendak
diqiyaskan (al-maqis), dan illat (al-illah). Di antara syarat
al-maqis adalah tidak adanya hukum terkait dengan al-maqis
tadi yang lebih kuat dan bertententangan dengan hukum yang dikehendaki ilat.
Hukum cabang dalam kontek ini adalah trasplantasi organ tubuh, yang hendak
diqiyaskan dengan kebolehan memakan bangkai dengan ilat daruroh. Qiyas
dalam dalam kontek ini tidak dibenarkan, sebab kebolehan tranplantasi sebagai
konsekuensi daruroh bertentangan dengan hukum-hukum terkait dengan
mayat seperti keharaman menyayat, memecah tulang, dll.
b.
Pensyaratan
izin sang mayat sebelum ia meninggal atau izin ahli waris juga merupakan
persyaratan yang batil. Izin mereka jelas tidak bisa menghalalkan
keharaman trasplantasi itu sendiri. Sebab, seseorang setelah ia meninggal
bukanlah milik bagi siapapun. Ia bukanlah milik bagi dirinya (milkun
lah), bukan pula milik bagi ahli warisnya (milkun liwarosatih).
Hal ini berlaku bagi seluruh perkara yang ia tinggalkan, termasuk harta dan
istri. Adapun kebolehan washiat atas sepertiga harta, itu karena adanya
nash khusus yang membolehkannya. Begitupun hak alhi waris terhadap harta, itu
ada karena ditetapkan oleh nash. Nash-nash tadi hanya berlaku
pada harta, dan tidak pada organ tubuh.
Adapun pengecualian
orang kafir harbiy, sebagaimana dinyatakan syaikh ‘Abdul Qadim Zalum
dan Syaikh asy-Syinqitiy, maka hal ini karena darah mereka tidaklah maksum
dimasa hidupnya, maka hal yang sama juga berlaku disaat ia mati. Juga
karena hadis riwayat ‘aisyah, yang menyatakn bahwa keharaman memecah
tulang mayat itu berlaku pada mayat mukmin. lafadz al-mukmin dalam hadis itu
adalah isim sifat, maka bisa ditarik mafhumnya. Dengan kata lain,
ketentuan ini tidak berlaku pada jasad mayat seorang kafir.
al-Hasil
tranplantasi organ dari sesosok mayat kepada tubuh yang masih hidup diharamkan
dalam kondisi apapun, termasuk dalam kondisi darurat sekali.