web stats

Rabu, 25 Februari 2015

jual beli organ tubuh manusia purba

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Manusia sudah mencoba memahami asal – usul penyakit dan cara mengobatinya sejak 5000 SM. Ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran berkembang dengan pesat pada saat ini. Salah satunya adalah kemajuan dalam teknik transplantasi organ. Pengaturan tentang transplantasi organ dalam Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 64 dan Pasal 65 serta Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 ayat ( 1 ) butir ( e ) menentukan bahwa “Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pembedahan alat dan atau
jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh sendiri atau tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik”. Sejak kesuksesan transplantasi yang pertama kali berupa ginjal dari donor kepada pasien gagal ginjal pada tahun 1954, perkembangan di bidang transplantasi maju dengan pesat. Kemajuan ilmu dan teknologi memungkinkan pengawetan organ, penemuan obat- obatan anti penolakan yang semakin baik sehingga berbagai organ dan jaringan dapat ditransplantasikan. Hal tersebut yang mendorong perkembangan ilmu kedokteran saat ini terutama dalam bidang transplantasi organ sehingga mengarah pada sarana penjualan organ dan atau jaringan tubuh tersebut di Indonesia.
Tingginya harga organ tubuh manusia tersebut juga menjadi pendorong terjadinya tindak pidana penjualan organ. Data yang dipublikasikan The China International Transplantation Network Assistance Center, Shenyang, Cina, mengungkapkan bahwa harga sebuah ginjal mencapai US$ 62.000, sedangkan jurnal kesehatan The Lancet menyebutkan, harga ginjal di pasaran mencapai US$ 15.000. Sepotong hati manusia dihargai US$ 130.000, sama dengan harga sebuah jantung, sedangkan harga paru-paru bisa mencapai US$ 150.000. Tinggi rendahnya harga organ tubuh manusia berjalan seirama dengan mekanisme pasar, semakin besar permintaan, semakin besar juga harga organ tersebut. Jutaan orang diperkirakan mengambil antrian untuk mendapatkan transplantasi organ tubuh, seperti jantung, ginjal, dan hati. Di Indonesia diperkirakan ada 70.000 penderita gagal ginjal kronis yang membutuhkan cangkok ginjal, di Jepang terdapat 11.000 penderita gagal ginjal, di Brazil terdapat 66.000 penderita gagal ginjal, mereka semua membutuhkan cangkok ginjal. Jumlah pasien itu tak sebanding dengan jumlah donor yang merelakan organnya dipakai orang lain setelah sang donor meninggal. Penduduk yang paling banyak bersedia menjadi donor ada di negara-negara Eropa, yang rata-rata 12% penduduknya memiliki kartu donor.
Timpangnya jumlah permintaan organ tubuh dibandingkan dengan jumlah pasien inilah yang kemudian menyuburkan praktek ilegal jual beli organ tubuh. Modus jual beli organ tubuh manusia ini sangat beragam, ada yang menjual organ tubuh karena terdesak kebutuhan ekonomi, ada pula yang dilakukan dengan cara menipu sang donor, ada yang melalui dokter – dokter bedah sebagai perantara penjualan organ, ada kasus pembunuhan dengan tujuan mengambil organ tubuh korban kemudian dijual, adanya motif pencurian organ tubuh lewat adopsi, ada juga yang lewat jalur perdagangan manusia dengan membujuk anak-anak untuk bekerja di luar negeri secara ilegal, padahal sudah masuk dalam sindikat penjualan organ tubuh. Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan pernah melansir dugaan praktek jual-beli bayi untuk dimanfaatkan organ tubuhnya.Bayi-bayi itu dijual Rp 3 juta – Rp 5 juta. Oleh pembeli, bayi-bayi tersebut dipelihara hingga berusia tujuh tahun. Setelah beranjak remaja, kemudian mereka dibunuh dan organnya dijual hingga ratusan juta rupiah. Dua warga negara Indonesia, Sulaiman Damanik dan Toni, diadili di Singapura karena kedapatan menjual belikan organ tubuh mereka.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana efektifitas ketentuan hukum tentang tindak pidana jual beli organ dan atau jaringan tubuh?
2.      Apakah tindakan jual beli organ tubuh manusia melalui transplantasi merupakan hak asasi dari manusia?



BAB II

PEMBAHASAN

1.      Pengertian
·         Jual Beli
Jual menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah akad mengalihkan hak milik ( misal tanah ) dengan perjanjian bahwa pemilik yang lama dapat membelinya kembali.
 Beli menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah rancangan atau buram surat dan sebagainya, ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret, lingkaran gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.
Jual beli menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah persetujuan saling mengikat antara penjual, yakni pihak yang menyerahkan barang, dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga barang yang dijual.

·         Organ
Organ menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah alat yang mempunyai tugas tertentu di dalam tubuh manusia ( binatang dan sebagainya ).

·         Jaringan Tubuh
Jaringan Tubuh menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah barang siratan yang serupa jaring; jala-jala: susunan sel – sel khusus yang sama pd tubuh dan bersatu dl menjalankan fungsi biologis tertentu.
Jaringan Tubuh menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 Pasal 1 butir ( d ) adalah kumpulan sel – sel yang mmempunyai bentuk dan faal ( fungsi ) yang sama dan tertentu.

·         Transplantasi
Pasal 1 huruf (e) Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi dan atau Jaringan Tubuh Manusia menyatakan bahwa : “Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan alat dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh manusia yang tidak berfungsi dengan baik.”

2.      Ketentuan hukum tentang tindak pidana jual beli organ dan atau jaringan tubuh
Jual beli organ tubuh merupakan fakta hukum baru yang belum pernah dibahas para fuqoha di masa lalu.  Fakta ini telah banyak dibahas oleh para ulama kontemporer, baik secara pribadi maupun badan (lajnah/ haiah ‘ulama).  Sebelum mereka membahas fatkta ini, terlebih dahulu mereka membahas hukum tranplantasi organ tubuh (naqlul a’dho wa gharsuh). Karena hukum jual beli organ tubuh erat kaitannya dengan hukum traplantasi itu sendiri.
Transplantasi ini ditujukan untuk menggantikan organ yang rusak atau tak befungsi pada penerima dengan organ lain yang masih berfungsi. Tarnplantasi sendiri bisa dilakukan dari orang yang masih hidup atau orang yang baru saja meninggal yang organ tubuhnya masih berfungsi. Dari sini, ada beberapa fakta hukum yang perlu dibahas terkait dengan tranplatasi organ tubuh, yakni menyangkut: pendonor, resipien, organ yang dipindahkan, serta bagaimana resipien mendapat organ tadi, apakah dengan membeli atau donor. Terkait pendonor adakalanya ia memeberikan organ tubuhnya kepada yang lain dikala sehat, sakit, atau setelah mati. Sementara resipien adakalannya ia dalam kondisi sangat membutuhkan (dharurat), namun adakalanya sekedar alternatif solusi dan belum mencapai tingkat darurat. Organ yang di pindahkan pun, bisa berupa organ vital atau bukan. Caranya, bisa lewat donor atau jual beli. Fakta-fakta inilah yang sekiranya perlu dikaji sebelum kita mengkaji hukum jual beli organ. Sebab,  hukum jual beli atau pun donor organ tubuh sangat tergantung atas kebolehan tranplantasi itu sendiri. Yakni, jika pemanfaatan organ tubuh itu diperbolehkan maka maka tasharup terhadapnya pun diperbolehkan.
Ketentuan hukum tentang tindak pidana jual beli organ dan atau jaringan tubuhsuatu perjanjian yang dibuat dengan sebab atau causal yang tidak halal adalah perjanjian tersebut sejak semula dianggap tidak pernah terjadi dan tidak perlu ada putusan hakim untuk membatalkan perjanjian tersebut. Perjanjian ini memiliki akibat bahwa para pihak tidak dapat saling menuntut dimuka hakim, tetapi kenyataanya perjanjian ini tetap berlaku dan tetap terjadi di masyarakat, hal ini disebabkan karena adanya beberapa faktor yaitu :
a.       Masing-masing pihak saling membutuhkan dan saling diuntungkan. Pihak penjual mendapatkan sejumlah uang yang ia butuhkan dari hasil penjualan organ tubuhnya, dan pihak pembeli mendapatkan organ tubuh yang ia butuhkanya.
b.      Terdapat kendala yang dihadapi oleh pemerintah dalam menanggulangi maraknya praktek komersialisasi transplantasi organ tubuh melalui jual beli, menyebabkan belum ada praktek jual beli yang sampai kepada pihak yang berwajib.
c.        Karena desakan kebutuhan ekonomi sehingga masyarakat nekad menjual organ tubuhnya meskipun dilarang oleh peraturan perundang-undangan.

Praktek jual beli organ tubuh dalam pencegahan dan penanggulangan diperlukan adanya peran aktif pemerintah karena jual beli ini kerap terjadi dan mulai marak terjadi dimasyarakat. Upaya pemerintah dalam menanggulangi praktek jual beli organ tubuh yaitu :
a.       Pemberian penyuluhan oleh pemerintah kepada masyarakat, khususnya kepada orang yang berencana akan menjual organ tubuhnya, dengan cara akan memberi penyuluhan tentang akan adanya sanksi pidana dan sanksi denda kepada masyarakat yang akan melakukan jual beli organ tubuh.
b.      Pemerintah berupaya menanggulangi praktek jual beli organ tubuh dengan pemberian sanksi pidana dan denda dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang  Kesehatan tentang komersialisasi transplantasi melalui jual beli.

Sebagian besar ulama kontemporer membolehkan tranplantasi organ tubuh dari orang yang masih hidup selama menimbulkan dhoror kepadanya (seperti dilakukan ketika sakit atau dilakukan pada objek vital yang menimbulkan kematian). Namun demikian, mereka berbeda pendapat dalam hal  istidhlal (penetapan dan penggalian dalil atas fakta yang dihukumi).
Perbedaan pendaapat ini di dasarkan pada apakah manusia memiliki hak tasharruf atas badannya ataukah tidak. Bagi ulama yang mengatakan bahwa badan adalah milik Allah Swt (milkun lillah wa haqqun lah) dalam arti manusia tidak memiliki hak tasharrof atasnya,  maka kebolehan tranplantasi didasaarkan pada alasan dharurah. Dharurah yang dimaksud adalah upaya menghindari kematian atau rusaknya anggota tubuh yang mengakibatkan kematian dengan syarat tidak menimbulkan dharar serupa bagi si pemberi. Contoh tranfusi darah. Diantara nash yang dijadikan dalil bahwa badan manusia adalah haqqullah adalah firman Allah swt
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. 51:56)
لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلَا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ
“Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit” (QS. an-Nur: 61)
Ayat pertama menyatakan bahwa tugas manusia di dunia adalah untuk beribadah kepada Allah Swt. Sementara pelaksanaan ibadah beserta kesempurnaannya tentu berkaitan dengan badan dan anggota tubuh orang yang mengerjakannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ia merupakan hak Allah Swt. Ayat kedua lebih jelas menunjukan adanya  pengurangan beberapa taklif syar’iy akibat ketidaksempurnaan atau hilangnya fungsi dari beberapa organ tubuh. Padahal taklif syar’iyy tidak boleh dihilangkan kecuali oleh mukallif itu sendiri, Dialah Allah Swt. Dengan demikian seseorang tidak punya hak atas organ tubuhnya yang diciptakan oleh Allah Swt untuk beribadah kepadanya.
Sementara ulama yang berpendapat bahwa badan manusia disamping merupakan hak dan milik Allah Swt (haqun lillah wa milkun lah),, namun  ia pun merupakan  hak dan milik manusia (haqun lil insan wa milkun lah), maka mereka berpendapat bahwa kebolehan tranplantasi didasarkan pada haq intifa’ fil mulki (hak pemanfaatan pada barang-barang yang dimiliki). Sementara dalil yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak tasharaf atas badannya adalah kebolehan memaafkan dalam hal tindak kriminal terkait anggota tubuh, baik berupa pelukaan, pemotongan, pencabut, dll, yang tidak menimbulkan kematian (jinayah fima dunan nafs). Allah swt berfirman:
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) mambayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. (QS. 2:178)
memaafkan sang pelaku tanpa mengambil diyat berati pemberian atas harta diyah itu sendiri (at-tabarru’ bi ad-diyah). Kebolehan at-tabarru’ bi ad-diyah menunjukan kepemilikan atas diyah.   Sementara kepemilikan atas diyat menunjukan kepemilikan atas anggota tubuh yang dengan diyatnya itu seseorang bisa bertabarru’ (Abdul Qadim Zalum, Hukmusy Syar’iy fi naqlil A’dho, hal, 11).
Dari paparan di atas, nampak bahwa pendapat yang kedua lebih kuat dengan alasan, pertama: penisbatan bahwa badan manusia merupakan hak Allah Swt tidak menapikan keberadaan hak dan kepemilikan manusia atasnya. Pengakuan atas kedua hak ini bisa kita lihat  dalam hal kepemilikan harta. Allah Swt berfirman
وَآتُوهُم مِّن مَّالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُم (النور33)
“Dan berilah mereka dari harta Allah Swt yang ia berikan kepadamu” (Qs. an-nur: 33)
Ayat ini jelas menunjunkan bahwa harta adalah milik Allah Swt. Hanya saja Allah Swt memberikan hak kepada manusia untuk menggunakan harta tersebut. hal ini bisa kita lihat dalam beberapa ayat lain, dimana Allah Swt nyatakan dengan bentuk penisbatan bahwa harta itu milik hambanya. Allah Swt berfirman:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ (البقرة: 262)
“ Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah….”(QS. al-baqarah: 262)
خُذْ مِنْ أَمْوالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِها (التوبة: 103)
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” (Qs. at-taubah: 103)
فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (البقرة: 279)
“maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. 2:279)
Dari nash-nash di atas  kitabisa menyimpulkan bahwa ashlul milkiyah atas harta adalah milik Allah Swt, dalam hal ini Ia nyatakan dengan lafadz “malullah” (harta Allah). Namun ketika kepemilikan tersebut Allah Swt berikan kepada manusia maka Ia nyatakan dengan lafadz “amawaluhum” (harta mereka) atau “amwalukum” (harta kalian). Begitupun halnya kepemilikan manusia atas badannya, hak tasharruf atas jasadnya tidak berarti menafikan hak Allah Swt. Kedua: Dalil-dalil yang menunjukan bahwa manusia diperintahkan untuk beribadah kepada Allah Swt juga tidak menafikan hak manusia atas tasharruf terhadap badannya. Sebab, tasharruf dalam hal ini tidaklah muthlak sebagaimana kita nyatakan di atas. Akan tetapi dibatasi pada perkara-perkara yang tidak menyebabkan kemadharatan seperti meninggalkan kewajiban kepada Allah Swt. Oleh kerena ishtidlal pendapat yang pertama keluar dari kontek tasharruf yang diperbolehkan.
Adapun  transplantasi organ tubuh dari orang yang sudah mati, maka para ulama sepakat bahwa hukum aslanya tidak boleh karena melanggar kehormatan mayat. Allah Swt berfirman:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا (سورة الإسراء: 70)
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS. 17:70)
Selain itu,  terdapat larangan menyayat tubuh mayat. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan Imam Muslim dari sahabat Ibnu buraidah dah bapaknya, ia berkata:
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam jika mengangkat seorang amir (komandan) atas suatu pasukan atau sariyah, beliau memberinya wasiat secara khusus supaya bertaqwa kepada Allah Ta’ala, dan memperlakukan pasukannya dengan baik. Beliau lantas bersabda,” Berperanglah dengan menyebut nama Allah, di jalan Allah, perangilah orang yang kafir kepada Allah ! Berperanglah, janganlah mencuri harta rampasan perang sebelum dibagi, jangan membatalkan perjanjian secara sepihak, jangan mencincang mayat musuh, dan jangan membunuh anak-anak” (HR. Muslim)
Hadis ini jelas menunjukan larangan menyayat tubuh mayat. Padahal tranplantasi tidak mungkin dilakukan kecuali dengan melakukan penyayatan. Disamping itu, Dalam riwayat ‘Aisyah. ra, Rasulullah Saw, melarang memecahkan tulang mayat seorang mukmin.
إن كسر عظم المؤمن ميتا مثل كسره حيًا (رواه أبو داود)
“Sungguh memecah tulang seorang mukmin setelah ia mati, sama seperti memecahkannya pada saat masih hidup” (HR. Abu Dawud)
Ini hukum asal tranplantasi organ tubuh mayat. Namun, karena alasan darurat, ulama kontemporer kemudian berbeda pendapat. Pertama: Pendapat yang membolehkannya dengan syarat-syarat. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt:
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 2:173)
Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas. (QS. al-an’am :119)
Kedua ayat di atas menunjukan bahwa seorang yang kehabisan bekal atau tidak memiliki makanan, dalam kondisi darurat dibolehkan memakan makana yang diharamkan seperti bangkai. Begitupun tranplantasi organ tubuh mayat, ia menjadi dalam kondisi darurat. Ini adalah pendapat Majma’ Fiqih Islami OKI (Makah, tahun 1969), Hai`ah Kibar Ulama (Saudi, tahun 1982), dan Lajnah Fatwa Yordania (1985), Kuwait (1985),  Mesir (1989), Al-Jazair (1972). Darurat yang dimaksud adalah tranplantasi organ tubuh yang sangat dibutuhkan oleh resipien, yang kalau tidak dilakukan diduga kuat menyebabkan kematian, seperti jantung, ginjal, paru, dll.  Adapun jika bersifat hajjiyah, tahsiniyyah atau sekedar tajmiiliyyah, yakni pada organ-organ tubuh yang diduga kuat tidak mengantarkan resipen pada kematian jika tidak dilakukan, maka trnpalantasi hukumnya tetap haram. (Dr. Bakr Ibnu Abdillah Abu Zaid, at-Tasyrih al-jutsmaniy wa an-Naql wa at-Ta’widh, hal. 40). Kebolehan tranplantasi pada perkara dharuriyyah ini disyaratkan izin sang mayat sebelum ia meninggal ataupun izin ahli waris.
Kedua: tetap tidak boleh walaupun dalam kondisi darurat. Ini adalah pendapat: Syaikh Adam Abdullah Ali, DR. Abdus Salam as-Sukry, Syaikh Abdullah al-Gumariy, Syaikh Muhammad Mutawally Asy-sya’rawiy, Syaik Muhammad Abdullah al-As’adiy, Syaikh Abdul Qadim Zalum, Syaikh as-sinqitiyy (Ahkamut tasharauf bil jutsah fil fiqhil Islamiy, hal: 153). Hanya saja Syaikh Abdul Qadim Zalum, Syaikh as-sinqitiyy mengecualikan organ mayat orang kafir yang darahnya tidak maksum (Abdul Qadim Zalum, Hukmusy Syar’iy fi naqlil A’dho, hal, 12).  Pendapat ini didasarkan pada dalil-dalil yang dikemukakan di awal terkait kewajiban menjaga kehormatan mayat, larangaan menyayat, memecahkan tulang, dll. Pendapat inilah yang lebih kuat denga alasan:
a.       Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa tranplantasi bisa dilakukan dalam organ yang tidak terkait dengan penyelamatan nyawa resipien, maka hal ini disepakati tidak boleh dilakukan, serta  bisa pula dilakukan pada organ yang bisa menyelamatkan nyawa resipien dan inilah yang menjadi objek perbedaan pendapat. Pendapat yang kuat dalam hal ini tetap tidak boleh. Karena, Pertama: penyelamatan resipien dengan tranplantasi ini bukanlah perkara yang pasti. Diamana oprasi pencangkakan ini bisa berhasil, bisa pula tidak. Ini berbeda dengan fakta penyelamatan kematian akibat memakan makanan yang haram bagi orang yang kelaparan. Kedua: di antara syarat qiyas adalah terpenuhinya seluruh syarat-syarat bagi rukun-rukunnya, yakni syarat-syarat pada: asal (al-maqis ‘alaih) hukum asal (al-hukmu), persoalan cabang yang hendak diqiyaskan (al-maqis), dan illat (al-illah). Di antara syarat al-maqis adalah  tidak adanya hukum terkait dengan al-maqis tadi yang lebih kuat dan bertententangan dengan hukum yang dikehendaki ilat. Hukum cabang dalam kontek ini adalah trasplantasi organ tubuh, yang hendak diqiyaskan dengan kebolehan memakan bangkai dengan ilat daruroh. Qiyas dalam dalam kontek ini tidak dibenarkan, sebab kebolehan tranplantasi sebagai konsekuensi daruroh bertentangan dengan hukum-hukum terkait dengan mayat seperti keharaman menyayat, memecah tulang, dll.
b.      Pensyaratan izin sang mayat sebelum ia meninggal atau izin ahli waris juga merupakan persyaratan yang batil.  Izin mereka jelas tidak bisa menghalalkan keharaman trasplantasi itu sendiri. Sebab, seseorang setelah ia meninggal bukanlah milik bagi siapapun.  Ia bukanlah milik bagi dirinya (milkun lah), bukan pula milik bagi ahli warisnya (milkun liwarosatih). Hal ini berlaku bagi seluruh perkara yang ia tinggalkan, termasuk harta dan istri.  Adapun kebolehan washiat atas sepertiga harta, itu karena adanya nash khusus yang membolehkannya. Begitupun hak alhi waris terhadap harta, itu ada karena ditetapkan oleh nash. Nash-nash tadi hanya berlaku pada harta, dan tidak pada organ tubuh.
Adapun pengecualian orang kafir harbiy, sebagaimana dinyatakan syaikh ‘Abdul Qadim Zalum dan Syaikh asy-Syinqitiy, maka hal ini karena darah mereka tidaklah maksum dimasa hidupnya, maka hal yang sama juga berlaku disaat ia mati. Juga karena  hadis riwayat ‘aisyah, yang menyatakn bahwa keharaman memecah tulang mayat itu berlaku pada mayat mukmin. lafadz al-mukmin dalam hadis itu adalah isim sifat, maka bisa ditarik mafhumnya. Dengan kata lain, ketentuan ini tidak berlaku pada jasad mayat seorang kafir.

al-Hasil tranplantasi organ dari sesosok mayat kepada tubuh yang masih hidup diharamkan dalam kondisi apapun, termasuk dalam kondisi darurat sekali.